Sabtu, 12 Desember 2009

Mutiara Hikmah

Mutiara Hikmah

Hari ini sebelum kita mengatakan kata-kata yang tidak baik,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berkata-kata sama sekali.

Sebelum kita mengeluh tentang rasa dari makanan,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,
Fikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

Sebelum kita mengeluh bahwa kita buruk,
Fikirkan tentang seseorang yang berada pada keadaan yang terburuk di dalam hidupnya.

Sebelum mengeluh tentang suami atau isteri anda,
Fikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidupnya.

Hari ini sebelum kita mengeluh tentang hidup,
Fikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.

Sebelum kita mengeluh tentang anak-anak kita,
Fikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.

Sebelum kita mengeluh tentang rumah yang kotor kerana pembantu tidak mengerjakan tugasnya,
Fikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan.

Dan di saat kita letih dan mengeluh tentang pekerjaan,
Fikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti kita.

Sebelum kita menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
Ingatlah bahawa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.

Dan ketika kita sedang bersedih dan hidup dalam kesusahan,
Tersenyum dan berterima kasihlah kepada Allah bahwa kita masih hidup !

Note :
Jalani hidup dengan bijak, dan sikapi segala permasalahan yang dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenang.

Al-Hikam

AL-HIKAM

Waktu
Sebaik-baik waktumu adalah kapan engkau menyadari kekurangan dan kerendahan mu.
Al-Hikam

Ikhlas
Kuburlah dirimu kedalam bumi yang dalam, karena bijian yang tidak ditanam dalam tanah tidak akan sempurna hasilnya. -Al Hikam

Tawakkal
Istirahatka dirimu dari mengatur urusanmu, karena segala yang diurus untukmu oleh “Selainmu”, tak perlu engkau turut mengurusnya. Al Hikam — Allah lah yang mengurus segala urusan dan kebutuhan kita, tugas kita adalah beribadah dengan baik dan sopan, serta dengan keyakinan dan khusnudhan [baik sangka]. Wallahu A’lam

Kesopanan

Kesungguhanmu mengupayakan apa yang telah dijamin untukmu dan kelailan mu mengerjakan apa yang dituntut darimu, adalah pertanda rabunya penglihatan mata batinmu.

Alim & Ma’rifat
‘Tidak ada orang yang mencintai khusus kepada ALLAH kecuali yang mengenal NYA’

Zuhud
Yahya Ibn Muaz al-Rozi berkata:
1. Jujur adalah makanan pokoknya orang zuhud
2. Pakaianya adalah apa yang menutupi auratnya
3. Tempat tinggalnya dimana ia berada
4. Dunia itu penjaranya
5. Kubur itu tempat berbaringnya
6. Tempat yang sepi itu tempat duduknya
7. Mengambil i’tibar itu berfikirnya
8. Al Quran itu pembicaraanya
9. Allah itu pembicaraanya
10. Berdzikir kepada Allah itu kawannya

Nikmat dan Kebutuhan
Ada 2 nikmat yang pasti ada pada semua makluk yaitu nikmat penciptaan dan nikmat pemenuhan kebutuhan.

Penolakan dan Pemberian
Ketika Allah membukakan pintu pengertian (pemahaman) bagimu tentang penolakannNYA, maka penolakan itupun menjadi pemberian

Kamis, 03 Desember 2009

Rekor Masuk Neraka

Rekor Masuk Neraka
Oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)

Andaikan makhluk yang bernama “fatwa” sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa ‘bergaul’ dengannya, sehingga tidak mudah ‘uring-uringan’ seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya di awal 1900-an kaum Ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardlu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya). Sumpah Pemuda itu fardlu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya.

Berikutnya begitu Hiroshima-Nagasaki dibom atom, Ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib, sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945. Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: Demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada Komunisme itu haram). Tidak mentaati UUD-45 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya.

Katakanlah sejak pra Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majlis Ulama Indonesia sudah menelorkan lebih dari 5000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara Negara dengan Agama. Kita istirahat tak usah bergunjing Ulama itu sejajar dengan Umara (Pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum Ulama dibanding undang-undang dan hukum Negara. Entah apapun namanya makhluk Indonesia ini: Negara sekular, demokrasi religious, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis, atau apapun.

Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum Ulama, khususnya Majlis Ulama Indonesia, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebutlah Ulama adalah partner Pemerintah. Kaum Ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai Khalifatullah fi ardli Indonesia. Dan kita semua bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan. Dulu para Rasul dengan mandat risalah, para Nabi dengan mandat nubuwwah, dan para Ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum Ulama dalam Majlisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar. Ada Ulama Pertanian, Ulama Ekologi, Ulama Perekonomian, Ulama Kehutanan, Ulama Kesehatan dan Kedokteran, Ulama, Ulama Kesenian dan Kebudayaan, Ulama Fiqih, Ulama Tasawuf dan Spiritualisme, Ulama Olahraga, dan segala bidang apapun saja yang ummat manusia mengaktivinya – karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol, dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang Golput, tanpa pernah ada fatwa tentang Pemilu, Pilkada, Pilpress dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat ‘canggih’. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok, tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman, penggusuran, pembangunan Mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan, serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita. MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks.

Itupun fatwa membatasi diri pada ‘benda’. Makan ayam goreng halal atau haram? “Dak tamtoh“, kata orang Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram. Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goring secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunnah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa. Sunnah karena ia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa.

Beli sebotol air untuk kita minum, halam haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kedhaliman sosial atau tidak. Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah swt. Berdzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajib shalat dan berdzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keras-keras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan


Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa, karena ada jarak serius antara fatwa dengan Agama, apalagi antara fatwa dengan Negara dan hukumnya. Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, men-sunnah-kan, me-mubah-kan, me-makruh-kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang “rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat. Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan methodologis dan syar’i, berhak menelorkan pendapatnya masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apapun. Muhammadiyah dan NU-pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para Ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, seseksama mungkin. Dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail. Kemudian andaikanpun persyaratan itu mampu saya penuhi, maka saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapapun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sejalan dengan pandangan saya. Sedangkan Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapapun melakukan shalat: hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekedar menyampaikan dan memelihara kemashlahatannya.

Para Ulama dan kita semua bisa kelak teruji ternyata sepandapat dengan Tuhan, bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: “Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”, kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu. Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan.

Mungkin benar rokok itu haram, dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka perokok yang jauh lebih berat disbanding saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari.

Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.

Al-Junaid al-Baghdadi

Al-Junaid al-Baghdâdî


Biografi al-Junaid al-Baghdâdî
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qâsim al-Junayd ibn Muhammad aibn Junayd al-Baghdâdî. Ia kemudian lebih popular dengan panggilan al-Junayd al-Baghdâdî, dan terkadang juga dipanggil al-Junayd saja. Ia merupakan tokoh sufi yang besar pengaruhnya di Baghdad. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia. Meskipun ia lahir di Nihawand, kelauarganya bermukim di kota Baghdad, tempat ia belajar hokum Islam menurut mazhab Imam Syafi’i, dan akhirnya ia menjadi qâdî di Baghdad. Walaupun demikian, kemudian ia menganut mazhab Abu Tsawr.
Sejak kecil Junayd sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junayd mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?”, Tanya Junayd kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya”, ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah”.
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia akan mau menerimanya”, Junayd berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junayd ke rumah pamannya. Sampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?”, terdengar sahutan dari dalam.
“Junayd”, jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini”.
“Aku tidak mau menerimanya”, Sari menyahut.
“demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini”, Junyd berseru.
“Junayd, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu”, jawab junayd, “Karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela atau tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya”.
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu”.
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk junayd disediakannya tempat khusus di dalam lubuk hatinya.
Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqatî (w. 253 H/ 867 M), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar kepada al- Saqatî, ia berguru kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basrî al- Baghdâdî al-Muhâsibî (160 H-243H/ 781-857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu. Al-Junayd al-Baghdâdî, bahkan dipandang sebagai murid terdekat dan paling banyak mendapatkan ilmu dari al- Muhâsibî tersebut.
Sejakk kecil, al-junayd terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, al-Junayd telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“kemukakan pula pendapatmu”, Sari mendorong Junayd. Maka berkatalah junayd,.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”.
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati”, keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junayd itulah yang paling tepat.
Kehidupan al-Junayd al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junayd al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah.
Di samping itu, al-Junayd memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Pada akhir perjalanan hidupnya, ia diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandangan Sa’îd Hawwâ, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa tokoh sufi yang dapat diterima oleh umat Islam, salah satunya al-junayd al-Baghdâdî, di samping tokoh-tokoh lain seperti al-Ghazâlî (w. 505 H/ 1111 M). al-junayd meninggal dunia pada jumat, 298 /910 M dan dimakamkan di dekat makan pamannya sekaligus gurunya, Sari al-Saqatî, di Baghdad.

Junayd Diuji
Selama empat puluh tahun Junayd manekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai salat isya’ ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan salat subuh tanpa perlu berwudhu’ lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu”, Junayd berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku: ‘Junayd telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh: ‘Ya Allah, dosa apakah yang telah dilakukan Junayd?’ Suara itu menjawab: ‘Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar dari pada itu?”
Junayd mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apbila manusia belum patut untuk menemui Tuhannya”, bisik Junayd, “maka segala amal baiknya adalah dosa semata”.
Junayd lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junayd bila kita tak mempunyai bukti”, jawab khalifah.
Kebetulan sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pergilah ke tempat Junayd”, khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junayd: ‘Aku kaya raya tetapi aku sudah jemu dengan urusan-urusan dunia. Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersama dirimu aku bisa mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu”.
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Junayd. Si gadis menemui Junayd dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junayd. Junayd membisu dan tak memberi jawaban, si gadis mengulangi daya upayanya dan Junayd yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!”, serunya sambil meniupkan nafasnya kea rah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohon ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya”, khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia mengunjungi Junayd. “Manusia seperti junayd tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya”, ia berkata.
Setelah bertemu dengan junayd khalifah bertaya:
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?”
“Wahai pangeran kaum Muslim”, Junayd menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angina. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apbila engkau sendiri tidak menginginkannya!”
Stelah peristiw itu nama Junayd jadi harum. Kemasyhuran terdengar ke seluruh penjuru dunia. Betapun besarnya fitnah yang dilontarkan kepada dirnya, reputasinya berlipat ganda seribukali.

Ajaran Tasawuf Junayd al-Baghdâdî
Dalam masa-masa hidupnya, Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci.
Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Junayd merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan. Bagi Junayd, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”.
Al-Junayd memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Junayd.
Paham dan amalan tasawuf Junayd ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya. Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Junayd, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”.
Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Junayd.
Al-Junayd terkenal sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya. Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah kemudian ia pernah mengatakan, “Apabila saya telah mengetahui sesuatu ilmu yang ternyata lebih besar dari pada tasawuf, tentulah saya pergi untuk mencarinya, sekalipun harus dengan cara merangkak.”
Al-Junayd memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.”
Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan al-Junayd yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam mengingat dia.”
Al-Junayd al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah.
Di kalangan para sufi, bast dan qabd merpakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan al-Junayd sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.”
Al-Junayd al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Ketika cinta sufi telah menggelora di dalam kalbunya, maka segala bentuk ibadah yang dilakukannya berupa salat, zikir, munajat, dan sebagainya dirasakannya sebagai suatu kenikamatan yang mendalam. Di dalam lubuk hatinya senantiasa ada kerinduan untuk terus bersama Allah, terlintas di dalam hatinya kecemasan, apakah Tuhan yang dicintainya telah membalas cintanya. Dari perasaan cinta yang sangat dalam ini sering terekspresi ungkapan-ungkapan puitis, yang kemudian terkenal dengan sastra sufi.
Selanjutnya al-Junayd dikenal sebagai tokoh sufi yang memiliki pemikiran tentang ma’rifah. Pemikiran ma’rifah yang diajarkan oleh al-Junayd banyak dikutip oleh tokoh-tokoh sufi selanjutnya. Dalam hal ini, Abu Bakr al-Kalâbadzî (w. 380 H/ 990 M) mengungkapkan bahwa al-Junayd berpendapat tentang ma’rifat sebagai berikut: “Ma’rifah itu ada dua macam, yaitu: ma’rifah ta’arruf dan ma’rifah ta’rif. Ma’rifah ta’arruf adalah bahwa Allah memberitahukan kepada orang banyak akn diri-Nya dan meberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai-Nya, seperti perkataan Nabi Ibrahim, ‘Saya tidak menyukai barang sesuatu yang terbenam.’ Adapun arti ma’rifah ta’rif adalah Allah memberi tahu orang banyak bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia, kamudian secara halus terjadilah kejadian benda-benda menunjukkan kepada orang bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Sedang pengetahuan model pertama tentang Allah adalah pengetahuan orang-orang khawas (para sufi). Semua oang tidak bisa ma’rifah terhadap hakikat Allah kecuali karena Allah sendiri”.
Berkenaan dengan ma’rifah ini, al-Junayd juga pernah mengungkapkan pandangannya secara tegas, seperti dikutip Abu Bakr al-Kalâbadzî, “Berkata Junayd, ‘Ma’rifah adalah wujud kebodohanmu ketika adanya pengetahuan. Dikatakan orang, tambahlah keterangan. Ia berkata, Allah itu al-Arif dan juga al-Ma’ruf.’ Artinya bahwa engkau, dari sudut pandanganmu, tidak mengetahu Allah SWT. Anda mengetahui-Nya dari sudut pandang Dia.”
Dalam pandangan al-Junayd, bahwa ma’rifah akan didapat sorang sufi melalui maqâmât dan ahwâl. Dalam persoalan maqâmât dan ahwâl tersebut, al-Junayd sebagaimana dikutip Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, dalam kitab al-Luma’ mengatakan, “Tidak akan sampai seseorang hamba kepada hakikat ma’rifah dan kemurnian tauhid, sehingga ia melalui ahwâl dan maqâmât”.
Selain tentang ma’rifah, al-Junayd juga mempunyai pemikiran tentang tawakal dan tasawuf. Dalam hal ini, suatu kesempatan, ia pernah ditanya tentang makna tawakal. Jawabannya singkat, sebagaimana dikutip oleh Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî dalam kitab al-Luma’. Menurut al-Junayd, bahwa yang dimaksud dengan tawakal adalah berpegang teguhnya hati kepada Allah SWT.
Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junayd tentang tasawuf adalah sebaggai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesame (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa al-Junayd pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junayd, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinyu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka al-junayd seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hokum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertsawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada.

Anekdot-anekdot Mengenai Diri Junayd
Pada suatu ketika mata Junayd sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu”, si tabib menasihatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Junayd bersuci, salat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan: “Junayd bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohonkan ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan kami kabulkan”.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Junayd telah sembuh,
“Apakah yang telah kau lakukan?”, ia bertanya.
“Aku bersuci untuk salat”, jawab Junayd.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya”, katanya kepada Junayd, “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku”.

Junayd Meninggal Dunia
Beberapa orang muridnya yang besar-besar dan terkenal pula dalam alam tasawuf, sebagai Abu Bakar al-Aththar, Abu Muhammad al-Jurairi, Abu Bakar al-‘Athawi, menceritakan bagaimana indahnya beliau ketika akan meninggal dunia.
Beliau masih tetap mengerjakan salat sunnat di samping yang fardhu, walaupun beliau sudah tidak dapat bangun lagi. Melihat itu, murid-muridnya berkata: ‘Apakah artinya ini wahai Abal Qasim? Tuan guru telah terlalu memberat-berati badan, padahal dalam menghadapi maut”. Lalu beliau menjawab: “Di saat sepert inilah yang amat indah mengerjakan ibadah.”
Sementara masih kuat berdiri, beliau berdiri. Setelah tak kuasa lagi, beliau pun duduk. Tak kuasa lagi duduk, beliau pun berbaring, tetapi tidak pernah berhenti mengerjakan sembahyangnya.
Muhammad al-Jurairi berkata: “Hari wafat beliau itu adalah hari Jum’at. Pagi-pagi saya datang, saya dapati beliau sedang membaca Alquran. Lalu saya berkata: Kasihanilah diri tuan, tuan sudah terlalu payah”. Lalu beliau jawab: “Siapakah yang lebih pantas dari pada aku berbauat begini di saat yang seperti aku hadapi ini. Padalhal shafat hidupku sudah hendak ditutup?” Kata al-‘Athawy: “Tidaklah berhenti beliau dalam sakit itu di antara sembahyang dengan membaca Alquran. Bila telah tammat beliau uulang kembali. Demikianlah seterusnya, sehingga tatkala dia menarik nafas penghabisan, telah dibacanya 70 ayat dari surat Al-Baqarah”.
Beliau meninggal di tahun 297 H. (910 M).


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Al-Attar Fariduddin. Warisan Para Auliya. Penterjemah, Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1983.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008.
HAMKA. Tasawuf, perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.

Tersenyumlah

TERSENYUMLAH


Jika kamu gundah gulana, diselimuti rasa resah dan sedih, maka tersenyumlah, barangkali dengan demikian dosa-dosa kamu terampuni.
Jika kamu merasa sebagai orang yang miskin dan merasakan pedihnya lilitan kebutuhan, maka tersenyumlah, barangkali kemiskinan ini labih baik bagi kamu. Barangkali kemiskinan ini justru menghindarkan kamu dari kesombongan atas kekayaan, kemewahan, dan dari fitnah dunia.

Jika kamu sakit dan hanya bisa berbaring di atas kasur, serta hanya ditemani ranjang putih, maka tersenyumlah, karena sakit merupakan sarana penyucian bagi kesalahan-kesalahanmu, obat bagi hati kamu, dan saat yang terbaik bagi kamu untuk kembali kepada Tuhan.

Jika kamu dizalimi oleh seseorang dan dihina oleh orang yang zalim, maka tersenyumlah, karena kamu adalah orang yang dizalimi bukan yang menzalimi. Pujilah Allah, sebab dia telah melindungi kamu dengan tidak memposisikan kamu sebagai orang yang berbuat zalim tapi pada posisi kamu sendiri, yaitu orang yang dizalimi.
Jika kamu kehilangan anakmuu, juga belahan hatimu, maka tersenyumlah, karena anak kamu akan memberi syafaat kepadamu dan melayanimu di telaga surgawi kelak. Dia telah pergi seiring dengan sirnanya kegelisahan yang menimpanya, sementara pahala dan balasannya akan tetap abadi untuk selamanya.

Jika kamu dipenjara secara paksa dan kamu ditempatkan di dalam sel sendirian, maka tersenyumlah, barangkali Allah swt menghendaki kamu berada di sel tahanan untuk menghindarkan kamu dari kemaksiatan, menyelamatkan kamu dai bencana, dan melindungi kamu dari kebinasaan. Jadi,tersenyumlah selalu.

Diambil dari kitab Ha Kadza Haddatsana Az-Zaman (Beginilah Waktu Mengajari Kita) karangan Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny

Reformasi Moral

Reformasi Moral
Oleh Ansori*

“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah mukmin yang paling baik moralnya” (HR Abu Daud).
Salah satu aspek yang paling diperhatikan Alquran untuk dibenahi dan diperbaiki adalah moralitas manusia. Sungguh, saking besar perhatian Alquran terhadap aspek ini, sampai-sampai Alquran menegaskan dirinya sebagai kitab aturan moral, atau setidaknya menjadi sumber rujukan paling utama mengenainya.
Moral, atau biasa disebut dengan akhlak, memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan penopang utama pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Kesalahan atau kehancuran suatu masyarakat mana pun sanagat bergantung pada kebaikan atau keburukan moralnya.
Setiap anggota masyarakat mampu hidup saling berdampingan, memahami satu sama lain, tolong-manolong, dan mengecap kebahagiaan, selama tidak terikat dengan nilai-nilai moral yang agung.
Kemuliaan moral merupakan tuntunan sosial. Artinya, ketika moral yang mulia telah lenyap, yang pada hakikatnya merupakan sarana untuk menciptakan keharmonisan antara sesama manusia niscaya seluruh anggota masyarakat akan saling berselisih, untuk kemudian terjerembab ke lembah kehancuran dan kemusnahan.
Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu tidak lain disebabkan oleh lenyapnya unsur moral yang baik. Alquran menunjukkan hal ini melalui firman-Nya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami). Kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Alisra’ [17]: 16).
Nilai penting moral juga berdampak pada perilaku individu manusia segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Barangkali dapat dikatakan bahwa perilaku manusia senantiasa selaras dengan watak yang tertanam dalam jiwa. Dalam hal ini imam al-Ghazali mengatakan, “sesungguhnya semua sifat tertanam dalam lubuk hati. Namun pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak berangkat melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya.
Kemudian, Menurut intelektual Muslim terkemuka, Abdul Karim Zaidan, langkah yang seyogianya ditempuh para pembaharu dalam upaya membenahi dan memperbaiki kehidupan dan perilaku manusia, adalah membangun dan menyucikan jiwa serta menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji.

*Tulisan ini pernah dimuat di kolom hikmah harian umm REPUBLIKA Rabu 1 April 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

MALAIKAT

MALAIKAT

Surah Fathir ayat 1

1. Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Artinya: Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Firman Allah Ta’ala, “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi,” yakni mengadakan keduanya dari tiada, “yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan” antara Dia dan para nabi-Nya, “yang bersayap”, yakni mereka terbang dengan sayap itu untuk mencapai tujuan yang diperintahkan dengan cepat,” dua, tiga, dan empat”. Di antara malaikat ada yang bersayap dua, bersayap tiga, dan bersayap empat, serta di antara mereka pun ada yang banyak sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits,
“Rasulullah saw. melihat Jibril a.s. pada malam isra. Jibril memiliki enam ratus sayap. Jarak antara sayap yang satu dengan yang lain sejauh timur dan barat.”
Karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Allah menambah pada ciptaan itu apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” As-Sidi berkata, “Allah menambah jumlah sayap dan menciptakan mereka menurut kehendak-Nya.”
Kata father terambil dari kata fathara yang pada mulanya berarti membelah. Dari makna ini lahir makna-makna lain seperti menciptakan pertama kali. Allah seakan-akan membelah ketiadaan lalu dari celahnya muncul ciptaan, yang dalam konteks ayat ini adalah semua langit dan bumi.
Kata malaikah dalam penggunaannya pada bahasa Indonesia, biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama dengan kata ulama. Dalam bahasa Arab –dari mana kata-kata itu berasal—keduanya berbentuk jamak, dari kata malak untuk malaikat dan ‘alim untuk ulama. Ada ulama yang berpendapat bahwa malak terambil dari kata alaka-ma’lakah yang berarti mengutus. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan, untuk berbagai funngsi. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti menyampaikan sesuatu. Malak/Malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah SWT.
Kata ajnihah adalah bentuk jamak dari kata janah yakni sayap. Bagi burung misalnya, sayap adalah bagaikan tangan bagi manusia. Kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yakni memang makhluk ini memiliki sayap –walau kita tidak mengetahui persis bagaimana bentuknya, bisa juga ia dipahami dalam arti potensi yang menjadikan ia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat yang lain. Thabathaba’i menegaskan bahwa inilah yang dimaksud oleh kata tersebut oleh ayat di atas.
Firman-Nya: yazidu fi al-khalq ma yasya’ / Dia menambbahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki, penambahan ini dapat mencakup sekian banyak hal dan aspek, baik jasmani maupun ruhani, ada yang ditambah kekuatan fisiknya, atau spiritual dan kecedasannya. Ada yang memiliki kelebihan dalam keindahan dan kecantikan, atau kepandaian bertutur dan kekuatan argumentasi dan lain-lain sebagainya, penggalan ayat ini mengisyaratkan juga adanya malaikat yang memiliki sayap lebih dari empat. Memang dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rasul saw. melukiskan malaikat Jibril memiliki lima ratus sayap. Az-Zuhri meriwayatkan bahwa malaikat Israfil memiliki dua belas ribu sayap.
Hakikat malaikat diperselisihkan oleh ulama. Banyak yang berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah dan sedikit pun tidak pernah membangkang. Mantan Mufti Mesir, Muhammad Sayyid Thanthawi menulis dalam bukunya al-Qishshah fi Alquran (Kisah dalam Alquran) bahwa malaikat adalah tentara Allah. Tuhan menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, serta menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan untuk berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Menurut Syaikh Thahir bin Shalih al-Jazair, di dalam kitabnya Al-Jawahir al-Kalamiyyah disebutkan bahwa malaikat adalah jisim yang halus yang diciptakan dari cahaya: mereka (malaikat) itu tidak makan dan tidak pula minum, dan mereka itu adalah hamba yang dimuliakan yang tidak bermaksiat kepada Allah dan mengerjakan segala perintahnya.
Informasi tentang kejadian malaikat ditemukan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad at-Tirmidzi dan Ibn Majah melalui isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasul swa. Bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana telah dijelaskan pada kalian.”
Muhammad Abduh yang di satu sisi kelihatan sangat Salafi, di sisi lain ia amat Khalafi dalam membicarakan hakikat malaikat, bahwa malaikat dalam sikapnya yang pertama dapat di lihat dari penjelasannya yang berikut:
Manurut ulama salaf, malaikat adalah makhluk Allah yang keberadaan dan sebagian tugas-tugasnya telah diinformasikan oleh-Nya. Kita wajib mengimaninya dan tidak perlu mengetahui hakikatnya. Pengetahuan tentang hakikat malaikat sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Kalau pun diinformasikan bahwa malaikat itu bersayap, kita harus mempercayai hal itu. Akan tetapi perlulah dipahami bahwa sayap malaikat tentu bukan seperti sayap burung yang berbulu, sebab jika sayap malaikat seperti sayap burung niscaya kita bisa melihatnya. Demikian pula jika diinformasikan bahwa malaikat menjalankan tugas tertentu yang berkait dengan dimensi fisik (jasmaniah), semacam tumbuh-tumbuhan atau lautan, kita perlu menegaskan bahwa di alam ini terdapat alam lain yang keterkaitannya sangat erat dengan system atau hokum-hukum alam itu sendiri. Akal tidak bisa memutuskan hal itu sebagai sesuatu yang mustahil, melainkan sebagai sesuatu yang mungkin, sejalan dengan penegasan wahyu yang memberitakan hal tersebut.
Dari penjelasan tersebut, Muhammad Abduh bersikap sederhana dalam menerima informasi tenttang malaikat, yang penting baginya adalah beriman akan adanya makhluk gaib yang disebut malaikat, dan tidak perlu pusing-pusing mendalami tentang hakikatnya. Hakikat malaikat, menurutnya, hanya Allah yang mengetahuinya. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh, manusia cukup uuntuk mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji persoalan hakikatnya. Hal yang terakhir ini dapat disimak lebih jelas dari pernyataannya yang berikut:
Banyak ulama telah berusaha mengkaji substansi (jawhar) malaikat. Tetapi, yang berhasil menguak misteri ini amat sedikit. Oleh karena mengetahui atau mengkaji tentang hakikat malaikat termasuk taklif (beban) yang nyaris berada di luar batas kemampuan manusia, maka bisa dibenarkan manusia cukup mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji hakikattnya. Tentu saja merupakan keistimewaan tersendiri bagi orang yang dikaruniai Allah “ilmu-plus” mengenai hal tersebut.
Di atas semua itu, ternyata Muhammad Abduh mempunyai pemahan lain tentang pengertian malaikat, dan dalam menyampaikan pendapatnya ia tidak begitu saja mengabaikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Menurut Rasyid Ridha, kelihatannya Muhammad Abduh ingin memperluas pembicaraan mengenai malaikat itu.
Menurut Muhammad Abduh, Alquran menuturkan bahwa malaikat itu bermacam-macam, yang masing-masing mepunyai tugas dan pekerjaan sendiri-sendiri. Bahwa ilham kebaikan dan bisikan kejahatan merupakan hal-hal yang pernah dijelaskan oleh Rasulullah. Keduanya dapat disandarkan pada makhluk yang berdimensi metafisik itu. Ide-ide kebaikan yang disebut dengan ilham dan ide-ide kejahatan yang identik dengan bisikan setan, menurut Muhammad Abduh, masing-masing berpusat pada ruh. Dengan demikian, malaikat dan setan merupakan ruh-ruh yang berhubungan dengan ruh manusia. Dari itu, katanya, tidaklah tepat tidaklah tepat jika malaikat digambarkan secara fisik. Sebab, kalau pun ia mengadakan kontak dengan ruh manusia tentulah jasad kontak itu terjadi melalui jasad/tubuh, sementara manusia sendiri, kata Muhammad Abduh, tidak merasakan sedikit pun adanya kontak itu, baik ketika timbul bisikan maupun ketika timbulnya dorongan dari lubuk hati untuk berbuat kebaikan. Maka dari itu, menurut pendapatnya, malaikat pasti berasal dari alam non-fisik. Bagi setiap Muslim wajib mengimani ayat yang berbicara tentang malaikat atau memandang kemungkinan ayat itu sekedar berbicara tentang tamtsil, kemudian ia mengambil pelajaran darinya.

Surah Al-A’raf 206

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.
Allah memuji para malaikat yang bertasbih siang dan malam tanpa henti. Dia berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah.” Allah menceritakan mereka tiada lain kecuali supaya malaikat yang melakukan ketaatan dan ibadat yang banyak itu diikuti. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan kepada kita agar bersujud (tilawah) tatkala Allah menceritakan sujudnya malaikat kepada-Nya.
Fiman Allah Ta’ala. “Dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud” merupakan ayat sajadah pertama dalam Alquran dan disyari’atkan secara ijma’bagi orang yang membaca dan mendengarnya agar bersujud. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Darda, dari Nabi saw.: “Sesungguhnya beliau menghitung ayat itu sebagai ayat Sajadah di dalam Alquran.”
Ayat di atas melukiskan tiga sifat malaikat, yaitu pertama, tidak sombong atau enggan beribadah, karena keangkuhan mengantar kepada kedurhakaan; kedua, bertasbih menyucikan Allah dari segala kekurangan; dan ketiga, selalu sujud dan patuh kepada Allah. Selanjutnya karena ibadah lahir dari ketiadaan keangkuhan, dan ini terdiri dari dua hal, rohani dan jasmani maka yang berkaitan dengan hati adalah penyucian Allah SWT., dan yang berkaitan dengan jasmani adalah sujud kepada-Nya. Karena itu ayat di atas diakhiri dengan menyebut kedua hal tersebut – menyucikan Allah dan bersujud – selanjutnya, menyucikan Allah dan sujud kepada-Nya dapat mengantar seseorang menuju kedekatan kepada-Nya. Demikian kesimpulan pakar tafsir Abu Hayyan.

Surah Ar-Ra’ad ayat 11

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada lindung dari mereka selain Dia.”
Kata al-mu’aqqibat adalah bentuk jamak dari kata al-mua’qqibah. Kata tersebut terambil dari kata ‘aqiba yaitu tumit, dari sini kata tersebut dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan di sini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/ memliharanya dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalamsetiap gerak langkahnya, baik ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti memliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan penciptaannya.
Firman Allah Ta’ala, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya.” Yakni, seorang hamba memiliki sejumlah malaikat yang datang bergantian. Malaikat itu menjaganya malam dan siang serta memeliharanya dari aneka keburukan dan kejadian. Malaikat lain pun datang bergantian untuk menjaga aneka amal hamba baik yang baik maupun yang buruk. Hal ini seperti dikemukakan dalam sebuah hadits, yang artinya:
“Para malaikat bergiliran untukmu pada malam dan siang hari. Mereka berkumpul dalam salat subuh dan salat ashar. Kemudian malaikat malam naik kepada Allah. Allah bertanya, kepada para malaikat sedang Dia lebih mengetahui tentang kamu, ‘Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku saat kamu tinggalkan?’ Para malaikat berkata, ‘Kami mendatangi mereka sedang mengerjakan salat dan kami meninggalkan mereka sedang salat pula.’”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bahwa, Rasullah saw. bersabda,
“Tiada seorang pun di antara kamu melainkan Allah menyertakan untuk mendampinginya seorang jin dan seorang malaikat.” Para sahabat bertanya, “Juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Juga aku, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkan jin. Maka dia tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.” (HR Muslim)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” Dalam arti Allah menjadikan para mu’aqqibat itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memlihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaumsehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi menyekutukan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni’mat (nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan dan seterusnya. Ini adalah suatu ketetapan pasti yang kait mengait. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Surah Qaaf ayat 20-26

Artinya: (20) “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.”
Firman Allah, “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.” Yaitu, hari kiamat. Diterangkan dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana mungkin aku akan bersenang-senang, sedangkan pemegang terompet mengulumnya dan mendekatkan wajahnya, dan menunggu izin untuk ditiupnya?” Mereka mengatakan, “Ya Rasulullah apa yang mesti kita lakukan?” Rasulullah menjawab,
Artinya: “Katakanlah, ‘cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’ Maka para sahabat ketika itu mengatakan , ‘Cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’”

Ayat (21): “Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya penggiring dan penyaksi.”
Kata sa’iq pada mulanya digunakan dalam arti sesuatu yang menjadikan sesuatu yang lain berada di hadapannya, menggiring dan mengarahkannya ke depan sambil mengawasi agar sesuatu itu tidak melangkah ke tempat yang tidak diinginkan oleh penghalau itu. Dari sini kata sa’iq dipahami juga dalam arti kusir/ pengemudi. Kata yang seakar dengan kata tersebut dugunakan Alquran untuk yang dihalau ke neraka serta yang diantar ke surga, walau sementara ulama berpendapat bahwa pada dasarnya ia digunakan untuk yang menggiring ke arah yang tidak menyenangkan.
Ibn ‘Asyur cenderung memahami kata nafs/ diri pada ayat di atas dalam arti diri seorang musyrik, bukan yang taat. Pakar tafsir yang satu ini berpendapat demikian dengan alasan konteks uraian ayat yang mengarah ke sana, dan penggunaan kata sa’iq yang menurutnya hanya digunakan bagi yang dihalau menuju tempat yang tidak disenangi.
Ayat di atas tidak menjelaskan siapa penggiring dan saksi itu. Tidak juga menjelaskan ke mana manusia digiring dan apakah saksi yang bersama mereka itu adalah hanya seorang saksi atau ada saksi lain. Penggiring tersebut boleh jadi malaikat yang ditugaskan mencatat amal-amal manusia – dan pendapat inilah yang paling sejalan dengan konteks ayat -- tetapi boleh jadi juga malaikat lain atau makhluk lain. Sedang saksi bisa jadi malaikat lain, atau diri manusia sendiri. Bukankah ketika itu anggota badan manusia akan bersaksi di hadapan Allah swt. Betapapun, yang jelas saksi pada hari kemudian tidak hanya satu saksi, tetapi banyak saksi.

Ayat : (22) “Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami telah singkapkan darimu tabir matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Kata ghitha’/ tabir yang menutup mata itu dipahami oleh sementara ulama dalam arti kecenderungan yang berlebihan terhadap materi, kekuasaan dan aneka ajakan nafsu.
Firman Allah, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Yaitu, aku lalai terhadap hari-Mu ini, yaitu hari kiamat. “Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam,” yakni dengan kuat. Karena, pada hari kiamat setiap orang akan mempunyai pandangan yang kuat, termasuk orang-orang yang kafir ketika di dunianya. Pada hari kiamat nanti, pandangan mereka stabil, akan tetapi semua itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa bagi mereka.

Ayat 23-26
Artinya: “Dan berkata temannya: “Inilah di sisiku telah tersedia.” “Lemparkanlah oleh kamu berdua ke dalam jahannam semua yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi meragukan, yang menjadikan bersama Allah sembahan yang lain, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang keras.”
Kata alqiya bentuk mutsanna/ dual. Ini dipahami dalam arti perintah kepada sa’iq dan syahid mengantar sang kafir menuju ke neraka. Ada juga yang memahami bentuk tersebut sebenarnya hanya tertuju satu person/ malaikat. Itu ditunjukkan kepada qarin. Bentuk dual tidak jarang digunakan bahasa Arab untuk menentukan sesuatu sekaligus bermakna “lakukan hal itu dua kali.” Dengan demikian ayat ini bagaikan berkata: Lemarkanlah! Sekali lagi, lemparkanlah!
Kata kaffar adalah bentuk hiperbola dari kata kafir yakni orang yang sangat banyak dank eras kekufurannya. Kata ‘anid adalah orang yang sangat keras kepala serta selalu menentang kebenaran, walau telah jelas baginya.
Sifat-sifat sang kafir yang beraneka ragam sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas, menggambarkan dampak buruk berurutan dari kekufuran. Yakni siapa yang sering kali melakukan kekufuran, maka ia akan bersifat keras kepala menolak kebenaran yang dihadapinya, dan ini aka menjadikan ia bersifat ‘anid. Selanjutnya sifat keras kepala ini mengantarnya terhalangi dari kegiatan yang positif atau dalam bahasa ayat di atas manna’in lil khair / sangat enggan melakukan kebajikan, karena hanya kebenaran yang mengantar kepada kebajikan. Lalu sifat yang terakhir ini mengantarnya menjadi mu’tad(in)/ melampaui batas dan pengabdian kepada Allah. Ia bersikap aniaya terhadap orang lain yang antara lain tercermin dalam upaya menghalangi manusia menerima kebenaran dengan jalan menanamkan keraguan pada hati mereka atau dalam istilah ayat di atas murib. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Kata qarin/ teman dipahami oleh sementara ulama sebagai setan yang menyertai manusia sewaktu berada di dunia. Dialah yang berkata: “Inilah orang kafir yang ada di sisiku ini telah tersedia yakni siap untuk dimasukkan ke dalam neraka, karena aku telah menyesatkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa teman itu adalah malaikat yang disinggung ayat yang lalu. Yakni jika yang dimaksud adalah penggiring, maka sang malaikat itu menunjuk pada seorang kafir yang dihalaunya ke neraka. Sedang bila yang berkata itu adalah saksi maka dia menunjuk kepada amal-amal yang disaksikannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazair, Syaikh Thahir bin Shalih. Al-Jawahir al-Kalamiyyah. Surabaya: Al-Hidayah.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasisn Alquran. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Teman dan Persahabatan

Tentang teman dan persahabatan :

Kita harus belajar hidup berdampingan sebagai saudara, kalau tidak mau
musnah sebagai orang-orang tolol. (Martin Luther King, Jr.)

Satu-satunya cara untuk mendapat sahabat adalah dengan menjadi sahabat.
(Ralph Waldo Emerson)

Persahabatan yang mengalir dari hati tidak bisa dibekukan oleh kesengsaraan.
(James Fennimore Cooper)

Kita mewarisi sanak keluarga dan bentuk fisik dari nenek moyang tanpa bisa
mengelakkannya; tetapi kita bisa memilih pakaian kita dan teman-teman kita, dan
hendaknyalah kita berhati-hati agar keduanya cocok bagi kita. (Volney Steamer)

Perasaan mempersatukan manusia, pendapat memisahkannya. Persahabatan remaja
dibentuk oleh yang pertama. Klik di usia dewasa sayangnya sering dibentuk oleh
yang kedua. (Johann Wolfgang von Goethe)

Binatang adalah teman yang menyenangkan. Mereka tidak bertanya macam-macam,
mereka tidak mengritik. Apakah tujuan hidup kita, kalau bukan untuk meringankan
hidup orang-orang lain. (George Eliot)

Teman jangan disakiti, juga saat berolok-olok. (Syrus)

Kekuatan bisa berkurang, tetapi cinta bisa bertambah; dan orang yang
memaafkan lebih dulu adalah yang menang. (William Penn)

Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan
kasihnya yang tidak diketahui orang lain. (William Wordsworth)

Siapa yang tidak menyayangi orang lain maka tidak akan disayangi orang.
(Rasulullah SAW)


Belumlah sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga mengasihi saudaranya
sebagaimana mengasihi diri sendiri. (Rasulullah SAW)

ABDUL KARIM AL-JILI INSAN KAMIL

ABDUL KARIM AL-JILI
INSAN KAMIL


A. Biografi
Nama Al-jili cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf, tetapi riwayat hidupnya, yang mennyangkut tahun kelahiran, pendidikan, dan perananya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui. Hai itu disebabkan Al-jili sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan murid-muridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian, kehidupan Al-jili tidak seluruhnya berada dalm kegelapan, karena dalam beberapa tulisannya ia melengkapi uraiannya dengan mencantumkan tempat dan tahun keberadaannya.
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad ”jil’.
Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa—menurut pengakuannya sendiri—ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w. 821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di Asia Tengah),Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahnu berikutnya gurunya meninggal.
Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya.
B. Karya-Karya Al-Jili
Sebagaimana riwayat hidupnya,karya-karya al-jili pun tidak banyak diketahui secara pasti, sehingga kita tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat dari hasil karyanya itu. Iqbal mengatakan bahwa karya la-jili tidak banyak seperti ibn ‘Arabi. Iqbal hanya menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya, yaitu suatu ulasan atas karya ibn ‘Arabi, al-futuhat al- makkiyah, suatu komentar atas basmalah, dan karyanya yang terkenal al-Insan al-Kamil.
Ada lagi penelitian yang lebih akurat ialah yang dilakukan oleh Haji Khalifah. Ia mencatat, bahwa al-jili telah menulis enam judul karya tulis, yaitu (1)Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifat-I ‘L-Awakhir Wa ‘L-Awa’il,(2)Al-Durrah Al-‘Ayniyah Fi L-Syawahid Al-Ghaybiyah,(3)Al-Kahf Wa ‘L-Raqim Fi Syarh Bi Ism-I ‘L-Lah Al-Rahman Al-Rahim,(4)Lawami Al-Barq,(5)Maratib Al-Wujud,(6)Al-Namus Al-Aqdam.
Penelitian Haji Khalifah itu dilengkapi oleh Isma’il Pasya al-Baghdadi. Ia mencatat lima karya al-jili selebihnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
1. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
3. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.

4. Lawami’ al-Barq
5. Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
6. Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
C. Konsep Insan Kamil Al-Jili
Pengertian dan Hakikat Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata insan dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa.Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
Al-jili seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak, yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti, hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara pasti. Al-jili mengatakan,”Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut senada dengan ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.”
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut al-jili alam ini bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu.
Menurut pandangan al-jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan sekaligus imanen. Al-jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam laksana air dan es (air yang membeku). Tuhan al- Haqq, diumpamakan sebagai air. Dan alam diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara ”es” dan ”air” ini, Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa al-jili melihat adanya dua bentuk wujud, yakni wujud haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya berupa wujud ”yang dipinjam” dari wujud haqqi. ”Es” sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud ”pinjaman”, sedangkan wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan dari wujud haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud, yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi hanya berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat lain, al-jili menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i sebagai aspek aspek-aspek dari wujud yang satu.
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli yang paripurna, sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Selain itu, insan kamil adalah kutub yang diedari oleh segenap alam wujud ini dari awal smapai akhirnya dan ia hanya satu, sejak permulaan wujud sampai akhirnya.
Kesempurnaan insan kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan identifikasi dari hakikat Muhammad.Hakikat Muhammad , yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos, pada dasarnya merupakan arketipe kosmos. Makhluk memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia juga merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah insan kamil, meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Kalau al-Hallaj memandang nur Muhammad itu qadim dan ibn ’Arabi memandangnya itu qodim dalam ilmu tuhandan baru ketika ia menyatakan diri pada makhluk, maka al-jili memandangnya baru. Nagi al-jili hanya ada satu wujud yang qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib(pasti, niscaya)ada. Wujud tuhan dipandang qadim karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-jili menjelaskan, sekalipun wujud yang diciptakan itu sudah ada semsnjak qidam didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang baru dalam keberadaanya itu, karena ia ”disebabkan” oleh wujud lain yang secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh karena itu, kata al-jili, a’yan tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim, tetapi baru.
Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.


D. Proses Munculnya Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah). Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1. al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
2. al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
3. al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’)
4. al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas
5. al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya
6. al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
7. al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya
c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas
d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.
E. Kedudukan Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi juga, al-jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.






Kesimpulan
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).
Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat al-Muhammadiyah sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).
Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.

Daftar Pustaka

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi “Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili”. Jakarta:Paramadina, 1997

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/

http://ichang.org/archives/34

IBN ARABI: WAHDATUL WUJUD DAN TAJALI

IBN ARABI:
WAHDATUL WUJUD DAN TAJALI


A. Biografi Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Ali ibn Ahmad Ibn Abdullahal-Tha’i alhatimi, ia lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, ber lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, berasal dari keluarga berada, ilmuan dan berpangkat. Pada usia 8 tahun ia bersama keluarganya pindah ke Sevilla. Setelah selesai studi di Sevilla, ia pindah ke Tunis dan disana ia masuk aliran sufi. Pada usia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Ditahun 1202 M ia pergi ke Mekkah Dan akhirnya ia tinggal sampai wafat di Damaskus, Syam tahun 638 H/1240 M.
Ibn Arabi adalah tokoh besar tasawuf yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang sangat besar di kalangan para sufi setelahnya, baik di Barat maupun di Timur. Selain sebagai sufi Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 judul.
Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya juga dinisbatkan doktrin wahdatul wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. Peliknya, istilah ‘wahdatul wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi.
Kendati istilah wahdatul wujud tidak dijumpai orang pada tulisan-tulisan Ibn Arabi, tidak diragukan bahwa pada karya tulisnya, seperti al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam dapat dijumpai banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung paham itu yang merupakan sebuah antalogy puisinya tentang cinta Ilahi.
Apabila kita baca kitab-kitab tersebut, bagaimanapun tenangnya kita menyelidikinya, tidaklah kita akan segera dapat memahami, kalau kita tidak masuk lebih dahulu kedalam alam tasawuf dan meminta diberi petunjuk oleh guru-guru yang mengerti benar, isyarat da maksud apakah yang terkandung dalam kata-kata yang penuh rumus itu. Sebab kaidah kata-kata yang dipilihnya amat berbeda dengan kuasa kata-kata yang dipakai dalam lapangan ilmu yang lain.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelat-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam. Itulah sebabnya Wahdatul Wujud merupakan suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.

B. Wahdatul Wujud
Ajaran tasawuf Ibn Arabi titik sentralnya adalah Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud). Ajaran ini penuh dengan nuansa simbolik, dan cenderung dekat pada paham Pantheisme, sehingga ajaran ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra tehadap konsep ini, misalnya kecaman yang datang dari pembela syari’at (terutama terkait dengan masalah tauhid), mengatakan bahwa paham ini sebagai paham sesat dan dapat merusak keimanan masyarakat muslim. Sehingga tidak jarang diantara para pengeritik tasawuf berani mengkafirkan para sufi. Sebaliknya, bagi para pendukungnya menganggap bahwa ajara ini harus dikembangkan, bahkan untuk mengembangkan ajaran ini mereka rela mati sekalipun.
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tauhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap paham ini, satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Wahdatul Wujud Ibn Arabi telah memberikan nuansa yang sangat luas bagi perjalanan tasawuf dan tarekat. Pengaruhnya itu tidak saja terlihat di dunia Barat dan Timur tetapi juga dirasakan sampai ke Indonesia.
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-Wujud artinya ada. Dengan demikian Wahdatul wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang atnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula para ahli filsafat dan sufistik sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang lahir dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikanya adim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjtnya diguakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul karena nusut yang ada dalam hulul di ubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang di sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq . Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-’ arad dan al-jauhar, dan dari dahir (lahir) dan al-batin (dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ’ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam yang mempunyai jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanandan sifat kemakhlukan. Tetapi aspek yang terpenting adalah aspek batinya dan aspek ini yang merupakan hakikat dari tiap-tiap yang wujud.
Renungan zauq tasawuf yang didasarkan kepada renungan pikir filsafat ini, timbul sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk. Menurut Ibn Arabi alam ini diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka Tuhan cukup melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dengan kata lain, walaupun pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tapi pada tiap-tiap yang ada itu terdapat sifat Ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah timbul paham kesatuan wujud dengan pengertian, bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini sebenarnya adalah satu.
Dengan kata lain makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan, tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunya wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunya wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya yaitu Tuhan. Tegasnya, yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah bayangan.
Ia juga menjelaskan bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Dan segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini.
Tuhan Imanen dan juga transenden. Ia adalah imanen sejauh Ia menyatu dengan alam; dan Dia adalah satu dengan alam dalam wujud, sebagai mana juga dengan sifat-sifat, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman mengada di alam – yang diyakini dan diketahui, dikehendaki dan dilaksanakan, dinikmati dan dirasakan – yang mana ia merupakan subyek nyata. Ia adalah transenden sejauh ia berbeda dengan alam; dan Ia berbeda dari dunia sejauh dalam sifat-sifat yang tidak dapat menyatu dengan dunia, misalnya bahwa Dia adalah tak terbatas dan abadi, maha pencipta dan sesembahan, mengatur dan menuntun dan lain-lain.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini adalah Patheistik, tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara Wahdatul Wujud dengan Pantheisme. Menurut paham Ibn Arabi, hakikat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedang wujud yang banyak itu hanya bayangan dari yang satu itu. Dalam Pantheisme essensi Tuhan itu terdapat dalam setiap yang ada. Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, maka wujud yang selain Tuhan juga tidak ada.
Ungkapan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah wujud Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedang wujud alam adalah wujud Tuhan dengan bentuk alam dapat mengundang pertayaan apakah Tuhan dan alam itu menjadi setara atau bukan. Untuk menjawab pertanyaan ini orang perlu mengingat pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih (mensucikan-Nya) dan tasybih (menyerupakan-Nya). Menurut Ibn Arabi, syariat Islam datang dengan ayat-ayat al-Quran yang men-tanzih-kan Tuhan dan ayat-ayat yang men-tasybih-kan-Nya. Oleh sebab itu, menurutnya Tuhan haruslah di- tanzih-kan dengan tanzih yang tidak me-nafi-kan (meniadakan) tasybih dan di-tasybih-kan dengan tasybih yang tidak meniadakan tanzih.
Dengan memperhatikan pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih diatas, maka wujud alam –kendati dikatakan wujud pemberian Tuhan atau dikatakan wujud Tuhan dalam bentuk alam- tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara dengan Tuhan dan tidak pula dinamakan Tuhan. Alam bisa dipahami memiliki kemiripan dengan Tuhan ata bentuk alam morop dengan bentuk Tuhan, kendati bentuk Tuhan tersebut tetap ghaib (tidak dikenal) oleh selain Tuhan.Pengertin bahwa bentuk alam mirip dengan bentuk Tuhan, selain dapat disimpulkan dari pengakuan bahwa ia adalah mitsl-Tuhan yang diaki dvlam tasybih, juga dapat disimpulkan dari pengajaran-pengajaran yang lain seperti, pengajaran bahwa Adam, segenap manusia, bahkan segenap alam diciptakan Tuhan berdasarkan bentuk-Nya. Karena diciptakan-Nya menurut bentuk-Nya, maka wajar dipahami bahwa bentuk alam itu mirip dengan bentuk Tuhan.
Men- tanzih-kan Tuhan dan sekaligus men-tasybih-kan-Nya dengan alam, bagi Ibn Arabi adalah upaya yang benar. Siapa yang men-tasybih-kan tanpa me-tanzih-kan-Nya, maka orang itu menurut Ibn Arabi jahil (tidak mengenal Tuhan), sedang orang yang men-tanzih-kan tanpa men-tasybih-kan-Nya dengan alam, maka orang itu menurutnya orang itu baru mengenal Tuhan dengan separuh pengenalan. Orang yang sempurna pengetahuannya (pengenalannya) tentang Tuhan, niscaya me-tanzih-kan-Nya di satu pihak dan men-tasybih-kan-Nya di pihak lain.

B. TAJALLI
Kata “tajali” merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan-dasar pandangan-dunianya. Semua pemikiran Ibn ’Arabi ihwal struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan-dunianya yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan, yakni dengan merujuk pada Hadis Qudsi kanzun makhfiyyan (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, ia dengan mudah melihatnya kepada alam karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada di alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap cermin ia dapat melihat dirinya dalam jumlah yang banyak tetapi sebenarnya wujudnya hanya satu.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai denga ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti.
Pengajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian banhwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih. Alam sebagai tajalli Tuhan haruslah dipahami dengan pengertian bahwa alam yang mengaktual dengan bentuk-bentuk yang beranekla ragam merupakan sebagai aktivitas Tuhan dan sekaligus melalui akibat-akibat tersebut Dia menampakkan (menunjukkan) keberadaan diri-Nya kepada alam atau manusia.
Penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami dengan pengertian penampakkan-Nya secara tidak langsung, yakni melalui bentuk-bentuk aktualitas alam Dia menunjukkan keberadaan dat-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya sedang dia sendiri berada di “belakang” dari segala penampakkan atau tajalli-Nya itu. Pengertian seperti ini sebenarnya terkandung dalam tulisan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa setivp nama Tuhan memperoleh bentuk-bentuk yang tak berkesudahan dalam tajalli-tajalli dan kita mengetahui bahwa Tuhan berada di belakang semuanya itu. Jadi, apapun dalam alam adalah tajalli Tuhan, tapi bukan Tuhan, kendati Dia memang berada di belakang segala sesuatu dan terus menerus menunjukkan diri-Nya melalui segala sesuatu.
Pengertian diatas juga berlaku pada ungkapan bahwa Tuhan menampakkan dirinya kepada orang-orang yang terbuka matv batin merekasehingga dikatakan juga merekamelihat Tuhan pada waktu kasyf. Melihat Tuhan pada waktu itu tidak lebih dari melihat tajalli (penampakkan-Nya), bukan bentuk diri-Nya langsung sebagaimana ada-Nya. Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang sesuai denga keyakinan orang yang mengalami kasyf dan ini menurutnya sesuai dengan firman Tuhan dalam hadits kudsi, “Aku seperti persangkaan hamba-Ku. Lebih lanjut dikatakannya bahwa yang dilihat orag yang mengalami kasyf itu tidak lain dari bentuk diri/jiwanya sendiri.








DAFTAR PUSTAKA

Ansori, Dr. Muhammad Abd. Haq, Antara Sufisme dan Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Dahlan, Prof. Dr. Abdul Azis, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Manusia, Padang: IAIN-IB Press, 1999
Ismail, Dr. H. Asep Usmar, M. A. dkk, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), 2005
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2008
Nata, Prof. Dr. H. Abudin, M. A, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983
Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
http://swaramuslim.net/more.php?id=5345_0_1_0_M
http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
http://inci73.multiply.com/reviews/item/24
http://amuli.wordpress.com/2008/11/12/konsep-konsep-kunci-metafisika-ibn-arabi-tajali-al-haqq