Senin, 16 Maret 2009

Intisari Iman

Intisari Iman*
Oleh Ansori

Pada dasarnya, iman yang ideal dan dapat dijadikan sarana perbaikan utama harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan Allah SWT serta memilki ciri-ciri yang digariskan Rasul-Nya.
Iman adalah proses kejiwaan yang berhubungan dengan segenap dimensi rohani, yang meliputi akal, keinginan, dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam iman perlu adanya getaran jiwa yang dengan itu seseorang bisa menyingkap hakikat wujud sesuai dengan kenyataan yang ada. Hakikat wujud ini tidak mungkin dapat tersingkap kecuali melalui wahyu ilahi yang suci.
Dalam hal ini, pemahaman atau penyingkapan akal harus mencapai batas kepastian, keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan, serta tidak dicemari keraguan dan kekaburan sedikitpun. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu” (QS Alhujurat [49]: 15).
Pemahaman dan pengetahuan yang kokoh ini harus diiringi kesadaran hati dan keinginan yang terwujud pada sikap tunduk dan taat pada hukum Allah SWT, serta kerelaan atas keputusan-Nya dan penyerahan diri kepad-Nya. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hinggga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya” (QS Annisa’[4]: 65).
Kesadaran semacam ini, menurut Yusuf Qardawi merupakan kecenderungan hati yang dapat menjadikan seseorang berbuat sesuai dengan tuntutan akidah, berpegang teguh pada prinsip-prinsip akhlak dan amal saleh, serta berjihad di jalan Allah SWT dengan harta dan jiwanya.
Pada dasarnya, iman yang dituntut untuk dihidupkan bukan hanya sekedar syiar yang digemakan atau dakwah yang dikumandangkan. Iman yang dimaksud adalah aturan kehidupan yang sempurna bagi individu dan umat manusia. Selain itu, dapat pula menjadi cahaya benderang yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan seseorang dalam kehidupannya.
Iman yang benar dan lurus juga akan menerangi kehidupan masyarakat dengan pancaran cahayanya. Selain itu, dapat pula memberikan pengaruh luar biasa terhadap seluruh dimensi kehidupan serta menjadikan manusia menyandang ciri ketuhanan, baik dalam hal pemikiran, pemahaman, perasaan, akhlak, maupun aturan.
Dalam hal ini, iman seperti itu akan mengubah manusia dari sosok yang hina dan lemah menjadi makhluk Tuhan yang memiliki tekad, misi, tujuan, kemuliaan dan kekuatan.
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Hikmah harian umum REPUBLIKA pada hari Rabu, 11 Maret 2009

Selasa, 03 Maret 2009

Ketika Fir’aun Hendak Membunuh Tuhan Musa

Ketika Fir’aun Hendak Membunuh Tuhan Musa

Diceritakan bahwa suatu ketika Ramses II, atau yang lebih dikenal dengan Fir’aunnya Nabi Musa, memerintah Haman, menteri yang menjadi tangan kanannya, untuk membangun sebuah bangunan pencakar langit tertinggi, yang belum pernah dibuat peradaban manapun di muka bumi.
Haman, sang menteri yang menangani pembangunan di negeri Mesir pun tanggap, dan mengerahkan 50.000 pekerjanya untuk segera merealisasikan amanat sang raja.
Begitu ‘mega proyek’ itu rampung, Fir’aun lantas menaiki puncak bangunan dengan membawa busur. Ia lalu memanah kea rah langit. Anak panah itu pun melesat, menembus angkasa.
Tak lama berselang, anak panah itu jatuh dalam keadaan berlumuran darah. Melihat hal itu, fir’aun girang bukan kepalang, dengan penuh kesombongan ia berkata: “Aku telah membunuh Tuhan Musa!”
Allah murka dengan kesombongan Fir’aun. Menjelang matahari terbenam, Allah mengutus Jibril untuk mengepakkan kedua sayapnya menghantam bangunan itu, dan membelahnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama menggilas pasukan Fir’aun dan menewaskan sejuta prajurit. Bagian kedua jatuh ke dalam laut. Dan yang terakhir terhempas jauh ke arah barat.
Begitulah Allah menunjukkan kemahaperkasaannya dengan mengirim azab yang mengacaukan mega proyek Fir’aun. Semua orang yang terlibat dalam pembangunan itu juga tak luput dari azab, semuanya tewas.

Sumber: Tafsir Al-Qurtubi dan Tafsir Fakhr ar-Razi.

Detik-Detik Kelahiran Rasulullah SAW

Detik-Detik Kelahiran Rasulullah SAW

Yang jelas Rasulullah SAW lahir pada hari senin, di tahun penyerbuan Abrahah ke Mekkah. Mengenai tanggal lahirnya masih terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Yang biasa dipakai di Indonesia adalah pendapat Abu Ishaq 12 Rabi’ul awal.
Kelahiran Rasulullah SAW, ada yang menyatakan terjadi pada saat terbitnya fajar. Sebagaian lagi menyatakan terjadi di siang hari. Tempat lahirnya di Mekkah, tepatnya di Zuqaq al-Maulid (lorong kelahiran) di Syi’ib Bani Hasyim. Selain itu, ada yang menyatakan di Radm dan ‘Usfan.
Zuqaq al-Maulid ini akhirnya dihibahkan oleh Rasulullah kepada Aqil bin Abi Thalib, saudara Ali bin Abi Thalib ra. Setelah Aqil meninggal, Zuqaq al-Maulid ini dijual oleh putera Aqil kepada Muhammad bin Yusuf, saudara dari Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi (panglima Abdul Malik bin Marwan yang terkenal kejam dan pernah menghancurkan Ka’bah dengan hantaman manjaniq).
Detik-detik kelahiran Rasulullah SAW menyimpan banyak fenomena yang menjadi tanda pra dari kenabian dan keagungan beliau (irhash). Ada yang terjadi di rumah atau di lokasi kelahiran, adapula yang terjadi di temapt yang jauh seperti yang terjadi di Persia dan Yatsrib.
Di antara fenomena alam yang terjadi di lokasi kelahiran Rasulullah SAW adalah ada bintang yang mendekat ke Syi’ib Bani Hasyim. Utsman bin Abi al-Ash mendapat cerita dari ibunya, bahwa ia menyksikan malam kelahiran Rasulullah SAW. Ibu Utsman berkata: “Tidak ada yang aku lihat dari rumah itu kecuali cahaya. Aku melihat bintang-bintang mendekat, hingga aku berkata: ‘Akan jatuh kepadaku’. Ketika ia terlahir, keluar dari Aminah cahaya yang membuat rumah itu terang benderang, sehingga yang aku lihat hanyalah cahaya.”
Ibu susu Rasulullah SAW, Halimah as-Sa’diyah, pernah diberi tahu oleh Sayyidah Aminah mengenai kelahiran Rasulullah SAW: “Sesungguhnya anakku ini memiliki keagungan. Aku mengandungnya, lalu tidak kandungan yang lebih ringan bagiku dan lebih besar berkahnya. Ketika aku melahirkannya, aku melihat cahaya seperti kilatan bintang yang menyinari untukku unta-unta di Bushra (Syam/Syiria). Lalu aku melahirkannya, maka ia jatuh tidak seperti bayi-bayi (yang lain). Ia jatuh sambil meletakkan tangannya ke tanah dan mengangkat kepalanya ke langit.”
Keluarnya cahaya yang menerangi istana-istana Romawi di Bushra (Syiria/Syam) diriwayatkan dengan sanad yang sangat banyak. Ada bebearapa yang shahih. Mengenai makna cahaya itu, terdapat beberapa penafsiran. Ada yang menyatakan bahwa cahaya di Syam itu merupakan isyarat akan keistimewaan Syam dalam Islam. Dalam perjalanan sejarah pasca wafatnya Rasulullah SAW, memang kenyataannya Syam menjadi negeri yang membawa bendera keagungan Islam. Setelah Khalifah Umar berhasil menaklukkan Damaskus, Palestina dan kota-kota penting lainnya di Syam, maka sejak itu Syam menjadi pusat kekuatan untuk menghabisi Romawi. Dari Syam lahir penaklukan Afrika Selatan, Afrika Barat, Spanyol, Portugal dan Prancis Barat.
Memang, seperti yang disebutkan oleh Ka’ab al-Ahbar, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, bahwa dalam kitab-kitab sebelum Islam, disebutkan: “Muhammad Rasulullah, lahirnya di Mekah, tempat hijrahnya Yatsrib dan kerajaannya di Syam.” Paca al-Khulafa’ ar-Rasyidun, kerajaan Islam berpusat di Damaskus di bawah kendali Bani Umayyah.
Adapun yang menafsirkan bahwa cahaya ke istana Bushra itu adalah sebagai tanda bahwa Rasulullah SAW menerangi mata hati dan menghidupkan hati yang mati. Adapula yang menyatakan sebagai isyarat bahwa yang dibawa oleh beliau adalah cahaya yang menunjukkan manusia dan menghilangkan kegelapan syirik. Sebab, dalam riwayat lain, disebutkan bahwa cahaya itu tidak hanya menerangi istana Bushra, tapi juga menerangi apa yang berada di antara timur dan barat.
Al-Imam Abu Syamah berkata: “Keluarnya cahaya ketika Rasulullah SAW lahir sudah sangat masyhur di Qurays dan banyak dibicarakan oleh mereka.”
Selain keluarnya cahaya, gabungan dari berbagai riwayat menyebutkan bahwa beliau lahir dalam keadaan berlutut, telapak tangannya di tanah, lalu menggenggam debu, jari telunjuknya memberi isyarat seperti orang yang membaca tasbih, matanya memandang ke langit, kemudian menurunkan tubuhnya seperti orang yang sujud.
Mengenai genggaman debu dan pandangan ke langit, seorang dari Klan Lahab yang mendengar cerita ini bilang kepada temannya: “Selamatkan dia. Jika tanda ini benar, maka bayi ini akan menguasai penduduk bumi.”
Adapula yang menyatakan bahwa pandangan ke langit menandakan ketinggian derajat beliau, menjadi pemimpin umat manusia, selalu menuju kepada yang lebih tinggi, dan derajat serta hal-ihwalnya yang lain terus meninggi.
Sedangkan mengenai sujudnya beliau merupakan tanda pra, bahwa sejak awal, hidup Rasulullah SAW adalah taqarrub kepada Allah SWT.