Minggu, 25 Oktober 2009

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: ITTIHAD

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: ITTIHAD


PENDAHULUAN

Kerasulan Muhammad yang merupakan cahya dalam Islam yang menerangi Arabia telah menembus kebagian-bagian terpencil Irak, Iran Syiria dan bahkan Turkistan. Tatatan baru sufi muncul dikawasan tersebut. Mereka percaya pada penolakan kesenangan duniawi, melalui penanaman rasa malu dan penangkalan diri. Anggota-anggota mereka antara lain kaum sufi yang terkenal, seperti Robi’a al Addawiyah, Hasan al-Basri dan Bayazid al-Bustami, yang membawa Islam kedaerah-daerah terpencil, dan berhasil menarik banyak orang memeluk Islam.

Pembahasan


A. Abu Yazid Al-Bustami serta Pengalaman Spritualnya
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia dilahirnya Dibustam nama salah satu didaerah Qunais, bagian timur laut Persia pada tahun 200 H/814 M.
Sebelum Abu Yazid mempelajari ilmu Tasawuf, dia belajar agama islam, terutama dengan bidang fiqih menurut Hanafi. Kemudian dia mempelajari ilmu tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga tentang fana’ dari abu ali sindi.
Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya Zahid itu adalah seseorang yang mampu mendo’akan dirinya untuk selalu mendekatkan dengan Allah SWT. Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Abu Yazid adalah tokoh sufi yang pertama yang memunculkan faham Fana’, Baqa’ dalam tasawuf. Dia ingin selalu dekat dengan Allah, seperti terlukis dari ucapannya “Aku bermimpi melihat Tuhan, akupun bertanya; Tuhanku, bagaimana caranya agar aku bisa sampai dekat kepadamu? Tuhan menjawabnya tinggalkanlah dirimu dan datanglah kepadaku”.
Beberapa pendiriannya, misalnya mengenai pengertian sakar, mabuk dalam mencintai Allah. Kata yang diucapkannya acapkali mempunyai arti dan makna yang begitu dalam, sehingga jika ditangkap secara lahir seakan-akan membawa kepada syirik karena mempersatukan antara Allah dan manusia.
Dalam Sejarah pewrkembangan Tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami dipandang sebagai pembawa faham fana’ dan baqa’, serta sekalgus pencetus faham ittihad. A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicatede (sufi yang mabuk kepayang pertama kali).
Dengan cara fana’ Abu yazid al-bustami meninggalkan dirinya dengan menuju kehadirat tuhannya. Dia berada sangat dekat dengan tuhan dia dapat melihat dalam kesempatan Syathohat dia ungkapkan. Ungkapan Abu Yazid tentang fana’ dan ittihad (menyatu) dengan Tuhan, sebagaimana diucpkan dari abu yazid : ”aku ini Allah, tidak ada tuhan selain aku maka sembahlah aku”.
Ungkapan-ungkapan Abu Yazid tentang Ittihad terlukis dalam kata-katanya berikut ini: ”aku tidak heran terhadap cintaku kepadamu, karena aku hanyalah seorang hamba yang hina dina. Tetapi aku heran terhadap cintamu kepadaku, karena engkau adalah maha raja yang maha kuasa”. ”aku tidak mendambakan dari Allah kecuali hanya Allah”. ”manusia bertobat dari dosa mereka, tetapi aku bertobat dari ucapanku”.tidak ada tuhan selain allah karena dalam hal ini aku memakai ungkapan alat dan huruf, sedangkan tuhan tidak dapat digapai dan dijangkau dengan alat dan huruf”, pada suatu ketika aku dinaikan kehadirat tuhanku dan Dia berkata ”Abu Yazid, makhluk-makhlukku ingin melihatmu”. Aku menjawab ” kekasihku aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi itu kehendakmu, hiasilah aku dengan keesanmu sehingga jika makhluk mu melihat aku mereka akan berkata : telah aku lihat engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya engkau, karena pada saat itu aku tidak ada disana. Abu yazid juga pernah mengatakan tuahanku berfirman semua mereka, adalah makhlukku, aku adalah engkau, engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”.
Cerita lain tentang Abu yazid. Dia pernah ditanya tentang umurnya, dia menjelaskan bahwa umurnya ’empat tahun’. Si penanya kaget lalu balik bertanya ‘bagaimana hal itu bisa terjadi? Abu yazid mengatakan lebih lanjut : “aku terlindung dengan tabir pemisah antara aku dengan tuhanku oleh tabir dunia selama tujuh puluh tahun dan aku baru dapat melihatnya selama empat tahun terakhir ini’.

B. Pemikiran Abu Yazid al-Bustami tentang Fana’ Baqa dan Ittihad.
Menurut Abu Yazid, manusia pada hakikatnya seesensi dengan Allah dapat bersatu dengan-Nya apabila dia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya), sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ an nafs), adalah hilangnya kesadaaran kemanusiaanya dan menyatu kepada irodah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
Al-fana’ dalam pengertian menurut al-Qusyairi’

فناءه عن نفسه وعن الخلق بزوال احساسحه بنفسه وبهم فنفسه موجودة والخلق موجود ولكن لاعلم له بهم ولابه

“Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…sebenarnya dirinya tetap ada, dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.

Dari pengertian ini terlihat bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan atau kepekaan menangkap yang bersifat materi atau indrawi sedangkan materi atau jasad manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana’ dalam pengertian tersebut diatas, maka pada saat itu maka ia telah dapat menyatu dengan tuhan sehingga wujudihanya kekal atau baqa’. Didalam perpaduan itu ia menemukan hakikat-hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari nur ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang maha esa. barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insane, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan yang tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut Tajrid fana attauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantari suatu apapun.
Dalam kenyataanya, al-Bustami begitu didominasi dengan keadaan. Karena itu banyak ungkapkan yang diriwyatkan berasal dari dia, seperti : ”makhluk mempunyai berbagai keadaan, tetapi seorang arif tidak mempunyai keadaan, sebab ia mengabaikan aturan-aturannya sendiri, identitasnya sirna pada identitas lainnya dan bekas-bekasnya gaib pada bekas-bekas lainnya”. Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arief kepada Allah, sehingga ia tidak menyaksikan selainnya. Seorang Arief, menurut Abu Yazid al-Bustami ’ dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan jaganya pun tidak melihat selain Allah, dia tidak seiring dengan selain Allah dan tidak menelaaah selain Allah.
Dalam Fana’ menurut Abu Yazid terkandung pula fana’nya kehendak, dituturkan bahwa dia ”ingin tidak berkinginan. Dalam urainnya tentang ungkapan ini ibnu attohillah : ” ketahuilah! Sebagian orang berkata bahwa Abu Yazid ingin tidak berkinginan, karena Allah mengingininya. semua orang sepakat bahwa ia tidak mempunyai keinginan bersamanya, dia tidak menginginkan apapun dan tidak mengingininya. Dalam kehendaknya dia tidak ingin seiring dengan kehendak Allah.
Tapi ciri yang mendominasi kefana’an Abu Yazid adalah sirnanya kepada segala sesuatu yang selain allah dari pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia, yang disaksikannya. Inilah yang diungkapkannya dengan ”pengabaian aturan-aturannya sendiri, kefana’an identitas, dan kegaiban bekas”.dan pada keadaan inilah terjadinya penyatuan dengan yang maha benar. Pernyataan ini tersirat dalam ucapannya.”akupun keluar dari yang maha benar menuju kemaha benar dan akupun berseru.duh engkau yang aku! Telah kuraih kini peringkat kefana’an. Dan katanya pula ” sejak 30 tahun yang silam yang maha besar adalah cermin diriku, sbab kini aku tidak berasal dari diriku yang terdahulu ucapanku ’aku dan yang maha benar’ adalah pengingkaran terhadap penyatuan dengan yang maha benar, sebab aku ini tidaklah ada, dan yang maha benar adalah cermin darinya. Bahkan lihatlah ! yang maha benar adalah cermin diriku. Sebab, dia yang berbicara dengan ucapanku, sementara aku ini telah fana’.
Ungkapan Abu Yazid tentang kefana’anya dan penyatuanya dengan kekasihnya memang terlalu berlebih-lebihan, antara lain bagaimana ucpannya yang ganjil : ”aku ini Allah, tidak ada tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku”. Katanya pula : ”betapa sucinya aku, betapa besarnya aku”. Dan katanya : aku keluar dari abu yazidku seperti halnya keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pencipta, yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu”. Suatu ketika abu yazid ditanya : ”apa ’arsy’ itu?”jawabannya : ”akulah Qursy itu”. Dan akhirnya dia ditanya: ”apa lauhmahfudz dan Qalam itu?”jawabanya: ”akulah keduanya”.
Masalah ungkapan yang ganjil ini telah dikaji secara mendalam oleh louis massignon. Menurutnya, ungkapan itu muncul pada seorang sufi dalam bentuk orang pertama diluar sadarnya. Hal ini berarti bahwa dia telah fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam dzat yang maha benar, sehingga dia mengeluarkan kata-kata dengan kalam yang maha benar dan bukan ucapannya sendiri. Ungkapan-ungkapan yang diucapkan seorang sufi dalam kondisi begini tidak dia ucapkan dalam kondisi normal. Sebab ucapan demikian, dalam keadaan normal, justru akan ditolak sendiri oleh orang yang mengucapkannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana’ dan baqa’ ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan tuhan, sehingga yang disadarinya hanya tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh tuhan. Fana’ merupakan keadaaan seseorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembataan atau maqam menuju ittihad( penyatuan rohaniah dengan tuhan).
Berbicara fana’ dan baqa’ ini erat hubungannya al-Ittihad, yakni penyatuan batin rohaniah dengan tuhan, karena tujuan dari fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zuhri yang mengatakan bahwa fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan membicarakan dengan paham ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode Tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang terpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
Dalam situasi ijtihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka, dapat memanggil yang satu dengan kata-kata : ”Hai aku”. Dalam teks arabnya kata-kata tersebut berbunyi :


قيقو ل الواحد للاخر ياانا

Maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan “aku”

Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya maha suci aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana’ dan baqa’.

C. Fana’ Baqa’ dan ittihad dalam pandangan al-Qur’an
Paham fana’dan baqa’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqo’ ar robi’ menemui Tuhan. Fana’ dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi :

فمن كان يرجوا لقاءربه فليعمل عملا اصاالحا ولا يشرك بعبادة ربه احدا [الكهف:.اا]

Barang siapa yang mengarapkan perjumpaan dengan tuhannya maka hendaklah yang mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepadaNya. (Q.S.Al-kahfi110).

Faham ittihad ini juga dapat difahami dari keadaan ketika nabi isa ingin melihat Allah. Musa berkata : ”ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepadamu”. Tuhan berfirman : tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah dan bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana’ dan baqa’ adanya konsep fana’ dan baqa ini dapat difahami dari isyarat yang terdapat dalam ayat sebagai berikut :


كل من عليها فان ويبقي وجه ربك زوالجلال والاكرام [الر حمن:]

Semua yang ada dibumi ini akan binasa, yang tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Q.S. Al-Rahman.55:26-27).

D. Ajaran yang Kompetebel bagi Kekinian dan Penerapannya.
Setelah kita mengetahui bahwsannya ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid, yaitu fana’ yang dimaksud dengan yang menghancurkan segala keburukan yang ada didalam rohani dan jasmani dan baqo’ ban bersatu dengan Allah ini adalah salah satu ajaran bahwasannya apabila kita menginginkan mahabahnya Allah berarti kita harus menghilangkan sifat-sifat yang ada didiri dan dalam hati kita, sehingga kita akan selalu merasakan keahdiran Allah di dalam hati kita (kebersamaan dengan Allah) dalam segala aktifitas yang kita lakukan.
Salah satu menghilangkan segala keburukan dalam diri kita yaitu yang bertaubat kepada Allah, Allah akan membukakan hati kita, Allah juga membukakan pintu dan menunjukan jalanNya untuk mendapatkan mahabbah maupun ma’rif’at Allah.
Kita sebagai manusia bisa mencapai ittihad seperti ajaran yang dibawakan oleh Abu Yazid al-Bustami yaitu dengan syarat melaksanakan fana’ dan mendapatkan baqa’.








Kesimpulan

Dari pembahasan yang diatas, ada beberapa poin yang perlu dijadikan kesimpulan, yaitu :
1. Abu Yazid al-bustami adalah Abu Yazid Tahifur bin Isa Surusyan al-Bustami, lahir didaerah bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur.
2. Pokok-Pokok Ajaran Tasawufnya adalah :
a. Fana berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
b. Baqa berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarakan istialah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
c. Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’.

Daftar Pustaka

Atiqul Haque M,100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, DIGLOSSIA, Jogjakarta : 2007
Dr.H.Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi-Tauladan Kehidupan Yang Saleh, PT.Raja Grafindo, Jakarta : 2001
Dr.Abudinata, Akhlak Tasawuf, PT.Raja Grafindo, Jakarta : 2006

Tidak ada komentar: