Kamis, 19 Februari 2009

SYED M. NAQUIB AL-ATTAS DAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Pendahuluan
Topik Islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam sudah diperdebatkan sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah 1977. tetapi sayangnya tidak ada usaha serius untuk melacak sejarah gagasan dan mengkaji atau mengevaluasi sejumlah persoalan pokok yang berkenaan dengan topik ini pada tingkat praktis.
Gagasan Islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai atau netral. Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke Dunia Islam, ilmu itu secara tak terelakkan sesungguhnya mengandung nilai-nilai dan merefleksikan pandangan-dunia masyarakat yang menghasikannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu tersebut harus ditepis terlebih dahulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan-dunia Islam bisa disingkirkan. Gagasan islamisasi, dengan demikian, merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudain direkonstruksi ke dalam system pengetahuan Islam.
Dalam makalah ini kami akan mengupas persoalan islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas dan dipraktikkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi pemikir Muslim kontemporer yang sangat menonjol.

Pembahasan
1. Syed M. Naquib Al-Attas
C Biografi Syed M. Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antaranya adalah Syed Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syed Abû Hafs ‘Umar ba Syaibân dari Hadramaut, yang mengantarkan Nûr Al-Dîn Al-Rânîrî, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘Aydarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Syed Muhammad Naquib. Dari keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang sangat bermanfaat baginya dalam mengembangkan dasar-dasar bahasa, sastra, dan kebudayaan melayu.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Pada masa pendudukan Jepang, dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqâ, Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zahrah School kemudian di English Colleg (1946-1951).
Syed Muhammad Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain.[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disisplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan beberapa kontribusi baru dalam disiplin keislaman dan pereadaban melayu.
Dia jugalah orangnya yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. pada 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazâlî. Pada 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekoradi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhantradisional dan gaya kosmopolitan.[2]

B Karya Tulis
(1) Buku dan Monograf
Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania. Di antara karya-karyanya tersebut adalah:[3]
1. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.
2. Islam and the Philoshophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
3. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala, Lumpur, 1977. versi bahasa Melayu
4. Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf yang belum diterbitkan, 286 h., ditulis antara Februari-Maret 1973. (buku ini kemudian diterbtkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001—penerj.)
5. The Mysticism of Hamzah Fanshûrî, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969
(2) Artikel
2. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala Lumpur, 1966
3. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
4. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
5. “A General Theory of The Islamization of the Malay Archipelago”, Profiles of Malay Culture, Historiographi, Religion, and Politics, editir Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976

C Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas
Latar belakang akademis al-Attas adalah kajian sastra dan sejarah Melayu. Namun pemikirannya dalam bidang sejarah pun nyaris tidak pernah lepas dari pembahasan metafisika atas Islam. Salah satu isu terpenting dari metafisika Islam adalah posisi ilmu dan persoalan epistemology.
Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memilki tujuan yang sama dengan metafisika. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan harus bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi. Al-Attas memang lebih kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan daripada ilmu pengetahuan Islam. Dia pun menggunkan istilah “islamisasi” secara terbatas dan menerapkannya secara persial atas temuan ilmu pengetahuan kontemporer, meskipun pada mulanya dialah yang pertama kali menggunkan istilah ini dalam makna yang dipahami kini.[4] Al-Attas dalam bukunya The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis dan faham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam, kemudian dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.[5]
Bagi al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah.[6]
Mengenai ilmu pengetahuan modern, al-Attas berpendirian relatif jauh lebih terbuka dibandingkan dengan beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan teoriilmu pengetahuan tertentu, karena sampai tingkat tertentu, temuan ilmu pengetahuan, misalnya toeri gravitasi Newton, adalah bebas nilai.
Dalama filsafat ilmu pengetahuan modern, terutama al-Attas mengkritik pandangan mengenai sumber ilmu yang tidak mengakui adanya sumber kebenaran mutlak, seperti Alquran, dan otoritas serta metodenya.
Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh dengan menunjukkan secara terperinci dasar-dasar penciptaan epistemology Islam, yang terutama dicapai oleh para filsuf muslim terdahulu. Ini terutama dibahas dalam karya terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (mukadimah bagi Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asas-asas metafisika dan epistemology Islam dengan bersandar pada para temuan filsuf muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan kepada individu muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup dihayati, maka Islamisasi tidak menjadi persoalan lagi karena akan terjadi secara otomatis melalui diri individu itu. Jadi “lokus” islamisasi bukanlah disiplin ilmu, namun individu ilmuannya.[7]

2. Ismail Raji al-Faruqi
A Biografi Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. pendidikan yang dilaluinya, seperti kebanyakan anak-anak keturunan arab yang selalu mengutamakan pendidikan agama, ia juga memulai pendidikannya dengan pendidikan agama. Selanjutnya ia memasuki College Des Fress, Libanon sejak 1926 sampai 1936. selesai di lembaga ini, ia selanjutnya kuliah di Amerika University, Beirut sampai menyelesaikan sarjana muda dengan gelar BA (Bachelor of Arts) tahun 1941[8], al-Faruqi lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat,[9] dan mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di temple University sampai akhir hayatnya 27 Mei 1986 (18 Ramadhan 1406 H). meninggal dunia dalam suatu peristiwa tragis, para ekstrimis Yahudi membunuh al-Faruqi serta istrinya dalam rumahnya di kota Wyncote Pencylvania.
Dia adalah seorang nasionalis Arab yang banyak membuat tulisan tentang agama Yahudi dan perbandingan agama. Hingga kinipun, seperti tampak pada banyak artikel dalam buku, jurnal, ataupun ensiklopedi yang membahas sumbangan pemikirannya, ia lebih dikenal sebagai seorang pemikir dalam disiplin kajian agama. Ia juga menulis beberapa artikel dalam jurnal kajian agama.[10]

B Karya Tulis
Al.-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel. Di antara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid: its Imlications for Thought and file (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al- Faruqi yang berimplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harusditempuh dalam proses islamisasi tersebut.[11]
Karya-karya terpentingnya lagi adalah The Trialogue of AbrahamFaiths (Perbincangan Tiga Pihak mengenai Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai dalam Kajian Islam dan Komparatif, 1982), Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama Dunia, 1974) dan sebagainya.[12]

C Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Al-Faruqi sampai pada kesimpulannya tentang perlunya Islamisasi setelah menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, seperti polit, ekonomi, dan budaya muslim terpinggirkan, kalah oleh dominasi barat. Menurtnya, inti masalah ini adalah system pendidikan yang mengasingkan muslim dari agamanya sendiri, dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan.
Dengan demikian, solusinya adalah membenahi system pendidikan. System pendidikan yang membuat pemisahan antara ilmu agama (madrasah) dan ilmu non agama (sekolah, universitas) harus dipadukan kembali. Pada tingkat ini pula al-Faruqi sudah mulai membayangkan langkah praktis yang harus dilakukan. Ia membayangkan bahwa universitas-universitas di dunia Islam harusnya cukup banyak memberikan pengajaran tentang peradaban Isalam. Tujuannya adalah memunculkan kembali identitas pelajar muslim.[13]
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya. [14]
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah memberikan definisi baru, mengarur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan – dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.[15]
Selanjutnya, secara terperinci ia menjabarkan proyek islamisasi ilmunya dalam dua belas langkah praktis, yaitu: [16]
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris
2. Survei atau tinjauan disiplin ilmu
3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa
5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya di masa kini
7. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9. Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia
10. Analisa kreatif dan sintesa
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku dasar tingkat unuversitas
12. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamiskan
Adapun alat-alat Bantu lain untukmempercepat islamisasi pengetahuan adalah:[17]
1. Konfrensi-konfrensi dan seminar-seminar
2. Lokakarya-lokakarya untuk pembinaan staf

Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu
Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan, seperti halnya Fazlur Rahman. Rahman adalah sarjana muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Quran. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana ilmu pengetahuan Islam memang tidak menonjol. Rahman hanya manulis dua artikel tentang masalah ini dalam majalah Arabia dan AJIIS, yang sempat memancing polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangannya cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.
Fazlur Rahman menganggap rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu terlalu mekanistis. Sementara al-Faruqi, dalam urutan langkah-langkah programnya, tampak lebih mementigkan penguasaan ilmu pengetahuan barat yang harus terlebih dahulu digarap daripada tradisi Islam sendiri.
Istilah Islamisasi bagi Rahman mengesankan sifat mekanis, karena seakan-akan dalam menghadapi berbagai ilmu yang datang dari barat, sesorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya.
Sebetulnya Rahman tidak sepenuhnya menentang gagasan ini, namun lebih menentang beberapa varian dalam gagasan ini yang memang terkesan bersifat mekanis. Ini, misalnya tampak dalam program 12 langkah al-Faruqi. Namun yang menjadi persoalan kemudian tidak hanya ilmu yang datang dari barat, tetapi dalam tradisi Islam sendiri tidak tertutup kemungkinan adanya teori yang tidak sesuai dengan Islam.
Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman adalah bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam konteks aktivisme Islam ke dalam kerangka perdebatan teoretis yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menciptakan teori-teori dan system-sistem yang diturunkan dari Alquran secara abash.
Kritikan selanjutnya dilakukan oleh Pervez Hoodboy yang bertumpu pada pandangan instrumentalis yang sama dengan pandangan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Serupa juga dengan Rahman, ia sebenarnya lebih mengarahkan kritiknya pada beberapa varian dalam wacana islamisasi ilmu, yang terutama diwakili oleh al-Faruqi.
Hoodboy mempertanyakan kebermaknaan istilah “ilmu pengetahuan Islam” sendiri. Menurutnya, harus dilakukan perbedaan antara ilmu pengetahuan yang dipraktekkan oleh kaum muslim pada saat ini maupun pada zaman keemasan Islam dan konsep ilmu pengetahuan Islam yang dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam.[18]

Kesimpulan
Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, menurut mereka islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, dkk, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 2002
Al-Atta, Syed Muhammad Al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, penerjemah Haidar Bagir. Bandung: Mizan 1996, cet. ke 7
Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan, penerjemah Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, penerjemah Hamid Fahmi dkk. Bandung: Mizan, 2003. cet. ke 1
Harahap, Syahrin dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedi Aqidah Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003
http://72.14.235.132/search?q=cache:qTfEBCluaxsJ:digilib.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah.pdf+Ismail+Raji+Al-Faruqi&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi


[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, penerjemah Hamid Fahmy dkk (Bandung: Mizan, 2003), cet ke 1. h. 45-47
[2] Daud, Filsafat…, h. 51
[3] Daud, Filsafat…, h. 55-58
[4] Zainal Abidin Bagir, “Al-Attas”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 147-148
[5] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, penerjemah Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke 7, h. 95
[6]http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm
[7]Bagir “Al-Attas”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,147
[8] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003) h. 97
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi
[10] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[11] http://72.14.235.132/search?q=cache:qTfEBCluaxsJ:digilib.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah.pdf+Ismail+Raji+Al-Faruqi&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
[12] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[13] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[14] http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm

[15] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, penerjemah Aanas Mahyuddin, (Bandung: PUSTAKA) h. 38-39
[16] al-Faruqi, Islamisasi…,h.98-115
[17] al-Faruqi, Islamisasi…,h. 118
[18] Bagir “Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,145-155
AGAMA DAN PEMBANGUNAN

A Pendahuluan
Pada abad modern ini timbul suatu kesadaran bahwa perubahan ekonomi sangat erat hubungannya dengan sejarah pertumbuhan agama. Umat manusia dewasa ini sedang dalam transformasi yang melibatkan kita semua kedalam dan keluar, masalah keperluan fisik maupun keperluan agama. Salah satu masalah yang penting dalam pembangunan ini adalah kesadaran kita untuk memilih sesuatu perbuatan yang berguna untuk pembangunan nasional dalam megisi kemerdekaan bangsa dan negara. Agar dalam pelaksanaan pembangunan itu, pelaksanaannya tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada, maka kita harus meletakkan landasan pertama pada masalah moral
Agama disini bukan saja sebagai faktor pendorong yang mampu memberikan semangat bagi umatnya untuk bekerja guna membangun dunia, tetapi juga mampu mengadakan pembaharuan serta penyempurnaan untuk mempersatukan pendapat perorangan maupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan hidup duniawi maupun surgawi secara berkesinambungan. Disamping itu agama juga sebagai penyucian perbuatan manusia untuk meningkatkan prestasi serta merupakan sumber inspirasi budaya baik fisik maupun non fisik yang bernafaskan keagamaan

B Pembahasan

1. Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
(1) Sebagai etos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini atau dihayati mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya, nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoaman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya, selalu giat dalam menerapakn perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak.
Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis. Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain.
(2) Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat.
Peranan-peranan positif ini telah telah mebuahkan hasil yang konkrit dalam pembangunan, baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.
Melalui motiasi keagaaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan asset yang potensial dalam pembangunan.[1]


2. Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:[2]
(1) Berfungsi edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua undur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
(2) Berfungsi penyelamat
Dimanapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat.
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dinia dan akhirat.
(3) Berfungsi sebagai pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui : tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
(4) Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara kelompok, ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok, karena:
Ø Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.
Ø Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (kenabian)
(5) Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akanmembina solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
(6) Berfungsi transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaanya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
(7) Berfungsi jreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
(8) Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

4. Ketaatan Beragama
Ketaatan beragama membawa dampak positif terhadap pembangunan, karena pengalaman, membuktikan bahwa semakin taat seseorang dalam beragama semakin positif sikapnya terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Karena setiap agama mengandung ajaran yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat.[3]
Ketaatan beragama selain dipengaruhi oleh factor kepribadian juga dipengaruhi oleh berbagai factor termasuk stratifikasi social (kedudukan dalam masyarkat).
Untuk jelasnya dapat diperincikan sebagai berikut:[4]
(1) Faktor Psikologis: kepribadian dan kondisi mental
(2) Faktor umur: anak-anak, remaja, dewasa, dan tua
(3) Faktor kelamin: laki-laki dan wanita
(4) Faktor pendidikan: orang awam, pendidikan menengah, dan intelektual
(5) Faktor stratifikasi social: petani, buruh, karyawan, pedagang, dan sebagainya.

5. Sikap Keagamaan
Psikologi memandang bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menimbulkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata, sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup. Jadi, motif menjadi faktor penjalin sekaligus menentukan hubungan antara sikap dan tingkah laku. Motiflah yang menjadi tenaga pendorong kearah sikap positif atau negatif yang hal itu kemudian tampak dalam tingkah laku nyata. Motif yang didasari pertimbangan-pertimbangan tertentu biasanya menjadi lebih stabil jika diperkuat dengan komponen afeksi. Dalam hubungan ini tergambar bagaimana jalinan pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Psikologi agama melihat bahwa ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam kehidupan nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi di atas, baik secara individual maupun kolektif. Perubahan sikap keagamaan memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang beragam dan bergerak antara titik positif hingga negatif. Jadi, sikap keagamaan yang menyimpang dalam kaitan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi negatif sehingga gerakan pembaharuan keagamaan yang berusaha merombak tradisi keagamaan yang keliru juga masih dapat dimasukkan dalam kategori ini.[5]
Sikap keagamaan merupakan suatau keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama.
Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.[6]
Menurut Siti Partini pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua factor yaitu:[7]
(1) Faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang dari luar, termasuk di sini minat dan perhatian.
(2) Faktor eksternal, berupa factor di luar diri individu yaitu pengaruh lingkungan dan diterima.
Dengan demikian walupun sikap keagamaan bukanmerupakan bawaan akan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh factor internal dan factor eksternal individu.
Pembentukan sikap keagamaan ini sangat erat kaitannya dengan pembangunan. Sikap fanatis, sikap toleran, sikap pasimis, sikap aptimis, sikap tradisional, sikap modern,sikap fatalisme dan sikap free will dalam beragam banyak menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat.

C Kesimpulan
Maka dapatlah kami simpulkan bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam pembangunan, karena agama tidak hanya sebagai pengerem dalam arti sekedar pembinaan kesusilaan semata, tetapi juga sebagai pengarahan dan pendorong umatnya untuk berperan aktif bersama-sama dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negara dalam mengisi kemerdekaan ini untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yakni pembangunan disegala bidang termasuk pembangunan manusia demi tercapainya kehidupan masyarakat yang tentram, damai, adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA

Djalaluddin, Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia: Jakarta, 1998. cet. Ke-4
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004. cet. Ke-8
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/sikap-keagamaan/
[1] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004. Cet ke-8. hal. 255-257
[2] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Kalam Mulia: Jakarta, 1998. cet. Ke-4. hal. 126-129
[3] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal.129
[4] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal.129-130
[5] http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/sikap-keagamaan/

[6] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal. 131-132
[7] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal. 132
MISTISISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

1. Pengertian Mistisisme
Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.
Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau mistisisme—sebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam—mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. [1]
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan.[2]
Cirri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan (wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). [3]

2. Karakteristik Mistisisme
William James, menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik:[4]
a. Ia merupakan sustu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
b. Ia merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif.
c. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
d. Ia merupakan kondisi pasif (passivity).
Sedangkan menurut Al-Taftazani mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:[5]
a. Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
b. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
c. Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
d. Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e. Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.

3. Sufisme dalam Kajian Psikologi Agama
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James, James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan.
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe kedua—sebagai system aturan perilaku—mempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual.
Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi.
Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan.
Pada bagian lain,teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal sepertii:
1) Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya.
2) Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.[6]
DAFTAR PUSTAKA

Jalauddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. ke-2
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, cet. ke-1
Thouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, cet. ke-2
[1] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2004. cet. Ke-1. hal.125-126
[2] Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia. 1993. cet. Ke-2. hal.115
[3] Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1995. cet. Ke-2. hal. 219
[4] Sururin, ilmu…hal. 128
[5] Sururin, Ilmu…hal. 130
[6] Sururin, Ilmu….hal. 138

Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak

PENGARUH ORANG TUA TERHADAP ANAK

عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها

Dalam mentakhrij hadits, hadits yang akan ditakhrij ditentukan terlebih dahulu. Di sini saya akan mentakhrij hadits ” ماالمولود الايولد على الفطرة“ yang artinya (setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah). Dalam penelusurannya saya menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzi (penelusuran hadits melalui lafaz) dengan merujuk kepada al-mu’jam al-mufahras li alfaz al-nabawi). Kata yang ditelusuri yaitu: “ فطرة“ adapaun yang disajikan oleh al-mu’jam al-mufahras adalah:[1] مامن مولوديولدالايولدعلى هذه الطرة
- خ = جنائز ٨٠, تفسير سورة ٣٠ , ١ , قدر ٣.
- م = قدر ٢٤٬٢٣٬٢٢
- حم = ٬٢ ٬٣١٥ ٣٤٦
Hadits berdasarkan data dari kitab mu’jam masing-masing terletak di dalam kitab sebegai berikut:
Shahih Bukhari: kitab janaiz bab 80, kitab tafsir surah bab 30, kitab qadar bab 3
Shahih Muslim: kitab qadar hadits no 22,23,24
Musnad Ahmad bin Hanbal: juz 2 h. 315 dan 345

Hadits dari masing-masing mukharrij
Hadits dari Bukhari :[2]
باب الله اعلم بما كانوا عاملين))
حدثنى اسحاق اخبرنا عبدالرزاق اخبرنا معمر عن همام عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها
Hadits dari Muslim :[3]
باب معنى كل مولود يولد على الفطرة زحكم موت اطفال اكفار واطفال المسلمين))
حدثنا حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن الزبيدي عن الزهري اخبرنى سعيد بن المسيب عن ابى هريرة انه كان يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ثم يقول ابو هريرة اقرءوا ان شئتم فطرة الله التى فطرالناس عليها لاتبديل لخلق الله
Hadits dari Ahamad bin Hanbal :[4]
حدثنا عبدالله حدثنى ابى حدثنا عفان حدثنا حماد بن سلمة عن قيس عن طاوس عن ابى هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما من مولود يولد الا يولد على الفطرة حتى يكون ابواه اللذات يهودانه وينصرانه كما تنتجون انعامكم هل تجدون فيها جدعاء حتى تكونا انتم تجدعونها واين هم قال الله اعلم بما كانوا عاملين
Pohon Sanad
رسول الله رسول الله رسول الله

ابى هريرة ابى هريرة ابى هريرة

همام سعيد بن المسيب طاوس

معمر الزهري قيس

عبدالرزاق الزبيد حماد بن سلمة

اسحاق محمد بن حرب عفان

بخاري حاجب بن الوليد ابى

مسلم عبدالله

احمد بن حنبل


Pohon Sanad Campuran

رسول الله

ابى هريرة

همام سعيد بن المسيب طاوس

معمر الزهري قيس

عبدالرزاق الزبيد حماد بن سلمة

اسحاق محمد بن حرب عفان

بخاري حاجب بن الوليد ابى

مسلم عبدالله

احمد بن حنبل

Biografi Para Perawi Hadits
1. Imam Bukhari[5]
Imam Bukhari nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari. Lahir di kota Bukhari pada tanggal 13 Syawwal194 H/810 M dan wafat di Samarkand pada malam ‘Idul Fitri tahun 256 H = 31 Agustus 870 M.
Imam Bukhari belajar hadits dari ulama hadits termasyhur, di antaranya: Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd, Ibn Mubarak, ‘Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi, dan Ibn Rawaih.
Sebelum mencapai usia enem belas tahun, Imam Bukhari telah berhasil menghafalkan beberapa kitab hadits, di antaranya karangan Ibnu al-Mubarak dan Waki’. Ia hapal 100.00 hadits shahih dan 200.00 hadits yang tidak shahih. Beliau tidak hanya menghapalkan matan hadits dan buku ulama terdahulu, tetapi ia juga mengenal betul biografi para periwayat yang mengambil baigian dan penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, dan tempat lahir.
Kekuatan ilmu dan hafalan Imam Bukhari, maka para guru, kawan, murid, dan generasi sesudahnya memujinya. Di antara mereka yang memuji Imam Bukhari adalah Abu Bakar Ibn Khuzaimah, al-Hakim, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Abu Bakar ibn Khuzaimah mengatakan: “di kolong langit ini tidak ada ahli hadits yang melebihi Imam Bukhari.” Al-Hakim menceritakan dengan sanad lengkap, bahwa Muslim yang menulis kitab shahih Muslim datang dan mencium antara kedua mata Imam Bukhari dan berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah imam ahli hadits dan dokterpenyakit hadits.” Sementara Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa: “Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan nafas akan habis, karena ia bagaikan laut yang tidak berpantai.”
Di antara guru Imam Bukhari adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, dan ibn Rawaih. Adapun murid beliau di bidang hadits banyak sekali sehingga ada yang mengatakan murid Imam Bukhari sebanyak 90.000 orang. Di antara muridnya adalah Muslim al-Hajjaj, al-Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Daud, dan ibn Yusuf al-Fiyabi.

2. Ishaq
Nama lengkap : Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim bin Mathar al-hanzaly.
Guru : Abdur Razzaq bin Hammam al-shanany, Abdullah bin Raja’ al-Makki, Hafs bin Ghiyats al-Nukhay
Murid : al-Jama’ah selain Ibn Majah, Hasan bin Sufyan, Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Himyary an-Nasafy, Ahmad bin Sahl bin Malik al-Asfarayiny.
Pendapat kritikus : Abbu Ayub : Tsiqah ma’mun
Lahir : 161 H
Wafat : pertengahan bulan Sya’ban th. 238 H[6]
Ishaq bin Ibrahim terkenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih al-Marwazi. Beliaulah yang menganjurkan kepada Bukhari untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih dalam sebuah kitab. Karena anjurannyalah, Bukhari mengumpulkan hadits dalam kitab shahihnya.[7]
3. Abdur Razzaq
Nama lengkap : Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Himyary, Maulahum, al-Yamany, Abu akar as-Shan’any.
Guru : Ma’mar bin Rasyid, Ibrahim bin ‘Umar bin Kaisan as-Shan’any, Ibrahim bin Maimun as-Shan’aniyu, Mu’tamir bin Sulaiman.
Murid : Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih, Ishaq bin Ibrahim bin ‘Ibad al-Dabari, Ishaq bin Ibrahim bin Nasr as-Sa’diyu, Yahya bin Ma’in.
Pendapat kritikus : Ya’qub : Tsiqah, Abu Ahmad bin ‘Adi : Tsiqaat
Lahir : 126 H
Wafat : 211 H pertengahan bulan Sya’ban[8]
Kitab karyanya : Mushannaf Abdirrazzaq.[9]


4. Ma’mar[10]
Nama lengkap : Ma’mar bin Rasyid al-Azdy al-Huddany
Guru : Hammam bin Munabbih, Yahya bin Abi Katsir, Mathar al-Warraq, Ibn Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Urwah.
Murid : Abdur Razzaq bin Hammam, Salamah bin Sa’id, Abdullah bin al-Mubarak, Abdul Malik bin Juraij.
Pendapat kritikus : Yahya bin Ma’in: Tsiqah, an-Nasa’I : Tsiqah, Abu Hatim : Shalih
Wafat : 154 H

5. Hammam
Nama lengkap : Hammam bin Munabbih bin Kamil, bin Siyaj al-Yamani, Abu ‘Uqbah as-Shan’any al-Anbawy
Thabaqah : Tabi’i
Guru : Abi Hurairah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Ibnu ‘Umar bin al-Khattab, Muawiyah bin Abi Sufyan
Murid : Ma’mar bin Rasyid, Ali bin Hasan bin Attasy
Pendapat kritikus : Yahya bin Ma’in : tsiqah, Ibn Hibban : ats-tsiqaat
Wafat : 131 H[11]
Hammam adalah adalah seorang tabi’i yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah, dan mengutip hadits darinya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian beliau kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah Ash-Shahihah.[12]
6. Abi Hurairah
Nama lengkap Abu Hurairah banyak versi ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Abu Hurairah al-Dawsi al-Yamani, versi lain mengatakan ‘Abd al-Rahman ibn Shahr. Abu Hurairah adalah kunyah yang diberikan kepadanya karena ia sering membawa anak kucing. Ia dilahirkan pada tahun 21 SH danmasuk Islam pada tahun ke-7 H. Ia wafat di Madinah pada tahun 57 H/636 M.
Guru dan murid Abu Hurairah dalam periwayatan hadits. Gurunya adalah Nabi Muhammad saw, Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar ibn Khattab, ‘Utsman ibn Zaid. Muridnya antara lain ‘Abdullah ibn ‘Umar, Muhammad ibn Sirin, ‘Urwah ibn Zubair.
Menurut Baqy ibn Makhlad, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, sementara menurut al-Kirmani, beliau meriwayatkan hadits sebanyak 5364 hadits. Dari sejulah hadits tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Ulama kritikus hadits yang memberikan penilaian terhadap Abu Hurairah: 1) ‘Abdullah ibn ‘Umar (w. 37 H) berkata bahwa Abu Hurairah lebih sering bersaam Nabi saw daripada kami, lebih banyak menghafal hadits daripada kami, dan lebih banyak mengetahui hadits Nabi saw daripada kami. 2) Al-Syafi’I (w.206 H) berkata bahwa Abu Hurairah paling hapal hadits daripada periwayat-periwayat hadits pada zamannya, dan paling banyak meriwayatkan hadits daripada mereka. 3) Al-A’raj (w. 117 H) berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadits dari Nabi saw, selalu hadir pada majelis Nabi saw, dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dai Nabi saw. dari pendapat para kritikus hadits di atas dapat dikatakan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadits yang tsiqah.[13]

Analisis Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang bisa menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad saw. atau definisi Mahmud al-Thahhan: لسلة الرجل الموصلة للمتن artinya, rangkaian perawi hadits yang mengantarkan matan hadits.[14]
Hadits di atas diterima oleh al-Bukhari melalui Ishaq yang memperolehnya dari Abdur-Razzaq yang memperolehnya dari Ma’mar yang mempeolehnya dari seorang tabi’i bernama Hammam yang memperolehnya dari seorang sahabat Nabi yaitu Abu Hurairah yang mendengar langsung hadits tersebut dari beliau.
Untuk hadits di atas, Ishaq adalah awal sanad sedang Abu Hurairah adalah akhir sanad, sedangkan yang lain berada di pertengahan sanad. Akan tetapi, bila dilihat sebagai perawi, maka susunannya adalah sebagai berikut:
1. Abu Hurairah adalah perawi yang pertama
2. Hammam adalah perawi kedua
3. Ma’mar adalah perawi ketiga
4. Abdur-Razzaq adalah perawi keempat
5. Ishaq adalah perawi kelima
6. Bukhari adalah perawi keenan, tetapi lebih sering disebut sebagai Mukharrij yaitu orang yang meneliti hadits tersebut sehingga diketahui sanadnya, lalu ditulis dalam kitab karyanya.
Penulis menganalisis sanad hadits dengan melihat dari biografi para perawai dengan menyimpulkan bahwa, sanad hadits di atas bersambung (muttasil) dan sanadnya juga sampai kepada nabi (marfu’), dikarenakan mereka mempunyai hubungan guru dan murid.
Para kritikus hadits memberi penilaian kepada para perawi hadits di atas bahwasannya semua perawi di atas tergolong tsiqah—berkumpulnya dua sifat ‘Adil dan Dhabith. Maka dari itu sanad hadits di atas adalah shahih.

Analisis Matan Hadits
Menurut istilah hadits, yang dimaksud dengan matan hadits adalah pembicaraan (kalam) atau meteri berita yang diover oleh perawi yang berada di akhir sanad (sahabat).
Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu riwayat bi al-lafdzi dan riwayat bi al-ma;na. riwayat bi al-lafdzi adalah menyampaikan kembali kata-kata nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan bi al-lafdzi, maka tidak ada perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dalam menyampaikan hadits Nabi. Akan tetapi, dalam kenyataannya, banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya mereka ditulis dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandungnya sama. Hal ini menunjukkan bahwa para perawi itu tidak meriwayatkan hadits dengan cara riwayat bi al-lafdzi melainkkan dengan cara yang disebut riwayat bi al-ma’na.[15]
Hadits di atas terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang pertama kali diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan redaksi yang sama sedangkan generasi berikutnya dan seterusnya diriwayatkan bi al-ma’na.
Mayoritas ulama hadits membolehkan riwayat bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain sahabat, dengan ketentuan: [16]
a. memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam,
b. dilakukan karena terpaksa, misalnya karena lupa redaksi sabda Nabi secara harfiah,
c. yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan yang bersifat ta’abbudi (ibadah),
d. periwayat bi al-ma’na sepatutnya menambahkan kata او نحو هذا atau yang semakna dengannnya, setelah menyebut matan hadits,
e. kebolehan ini hanya boleh berlaku sebelum masa bembukuan hadits secara resmi.
Penulis menganalisis matan hadits di atas dengan mamberi kesimpulan bahwa matan hadits di atas tidak mengandung unsur-unsur syadz dengan artian matan hadits yang satu dengan yang lainnya—yang diriwaatkan oleh Bikhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal--tidak bertentangan dan hadits di atas juga tidak mengandung kecacatan (‘illat). Maka hadits di atas dapat diterima (maqbul).

Kesimpulan Takhrij Hadits
Setelah menganalis sanad dan matan hadits, penulis memberikan kesimpulan bahwa hadits di atas berkualitas shahih dikarenakan telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yaitu:[17]
a. mempunyai sanad yang bersambung (muttasil)
b. para perawinya ‘adil
c. para perawinya dhabith
d. tidak mengandung unsur-unsur syadz
e. tidak mengandung kecacatan (‘illat) yang dapat merusak keabsahan sebuah hadits, seperti menyambungkan hadits-hadits yang jelas terputus sanadnya (washu munqathi’), me-marfu’-kan yang mauquf (raf’u mauquf) dan me-mursal-kan yang maushul (irsal al-maushul).

Penjelasan Hadits
Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua terhadap pendidikan anak. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan disebut dengan “fitrah.” Secara etimologis, “fitrah” berarti “sifat asal, kesucian, bakat, dan bembawaan,” secara terminology, Muhammad al-Jurjani menyebutkan, bahwa “fitrah” adalah: tabiat yang siap menerima agama Islam.
Kata “fitrah” disebutkan dalam Alquran pada surah al-Rum ayat 30 sebagai berikut:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.
Arinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S al-Rum [30]: 30).
Bila diinterpretasikan lebih, kata “fitrah” bisa berarti macam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefinisikan oleh banyak pakar. Di antara arti-arti yang dimaksud adalah:
1. Fitrah berarti “thuhr” (suci).
2. Fitrah berarti “Islam” (agama Islam)
3. Fitrah berarti “tauhid” (mengakui keesaan Allah)
4. Fitrah berarti “ikhlas” (murni)
5. Fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran.
6. Fitrah berarti “al-Gharizah” (insting)
7. Fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi keapda Allah
8. Fitrah berarti ketetapan atas manusia baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, dsb.
Dalm kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan, bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham convergent. Karena “fitrah” mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-Din al-Qayyim) yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa diubah oleh lingkungan sekitarnya.[18]
Kalau melihat hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi:
Artinya:
“Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhanya. Apakah kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya? Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini:…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah …itulah agama yang lurus…” (HR Bukhari)
Sejalan dengan riwayat Abu Hurairah di atas, “fitrah” merupakan modal seorang bayi untuk menerima agama tauhid dan tidak akan berbeda antara bayi yang satu dengan bayi lainnya. Dengan demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban dua langkah berikut. Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah, serta semangat mencari dalil dan mengesakan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan menginterpreetasikan berbagai gejala alam melalui penafsiran yang dapat mewujudkan tujuan pengokohan fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah. Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak, misalnya tayangan film, berita-berita dusta, tatau gejala kehidupan lain yang ttersalurkan melalui media informasi. Anak- anak harus diberi pemahaman tentang bahaya kezaliman, dekadensi moral, kehidupan yang bebas, dan kebobrokan perilaku melalui metode yang sesuai dengan kondisi anak, misalnya dengan melalui dialog, cerita, atau pemberian contoh yang baik. Melalui cara itu, anak-anak akan terhindar dari peyahudian, penasranian, atau pemajusian seperti yang diisyaratkan hadits di atas.[19]
Al-Ghazali menetapkan tentang upaya membiasakan anak terhadap hal-hal yang baik atau buruk berdasarkan respon dan instingnya (fitrahnya). Di antara kata-katanya adalah:
Anak itu amanat bagi kedua orang tuanya. Dan hatinya yang suci itu adalah permata yang mahal. Apabila ia diajar dan dibiasakan pada kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan akan mendapatkan kebahagiaan di duni dan akhirat. Tetapi, apabila ia dibiasakan untuk melakukan kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang-binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Dan untuk memeliharanya adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak-akhlak yang mulia kepadanya.[20]
Alangkah indahnya kata-kata berikut ini:
Pemuda-pemuda kita tumbh sesuai dengan apa yang telah dibiasakan oleh bapaknya.
Pemuda itu tidak hidup dengan akalnya, tetapi dengan beragamanya. Maka dekatkanlah ia dengan agama.
Dari sini, dapat diketahui bahwa jika anak tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah.[21]
Dapat dipahami bahwa “fitrah” sebagai pembawaan sejak lahir bisa dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, bahkan ia tak dapat berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh lingkungan tersebut. Sementara lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesaui dengan cita-cita manusia).
Namun demikian, meskipun “fitrah” dapat dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi kondisinya tidak netral. Ia memliki sifat yang dinamis, reaktif dan responsive terhadap pengeruh dari luar. Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya, terjadi interaksi saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan sekitarnya, sampai akhir hayat manusia.[22]
Pada hakikatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan peyahudian, penasranian, atau pemajusian, tetapi lebih luas lagi, yaitu menyangkut seluruh gerakan yang menyimpangkan anak dari fitrahnya yang suci. Karena itu orang tua dituntut untuk waspada agar dirinya tidak terjerumus pada gerakan tersebut dan anak kita mencontoh perilaku hidup kita. Misalnya, orang tua harus mewaspadai bacaan atau majalah anak-anak yang dapat menjerumuskan anak pada kesesatan atau penyimpangan.[23]

Tinjauan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya tiga teori pendidikan, yaitu:
1. Aliran Nativisme yang dipelopori oleh Schopenhauer. Ia mengetakan bahwa bakat mempunyai peranan yang penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelak. Sehingga pendidikan diumpamakan dengan “Mengubah emas menjadi perak” adalah hal yang tidak mungkin.
2. Aliran Empirisme yang dipelopori oleh John Lock. Ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teorinya terkenal dengan istilah “Teori Tabularasa.” Ini artinya bahwa kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih-bersih yang dapat diwarnai setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan, pendidikan adalah orang yang mampu memberi “warna” terhadap anak didik.
3. Aliran Convergensi yang dipelopori oleh William Stern. Alirian ini mengakui kedua ailiran sebelumnya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini lebih menekankan tentang pentingnya pendidikan.[24]
Para pendidik dan orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar untuk melahirkan anak-anak dengan berpijak di atas landasan iman dan mengajarkan dasar-dasar Islam, maka selayaknya setiap orang yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban itu mengetahui batasan-batasan tanggung jawab dan kewajiban yang dipikulkan di atas pundaknya agar dapat melahikan anak yang berpijak pada landasan pendidikan iman yang sempurna dan diridhai Allah.
Secara berurutan, batasan tanggung jawab dan kewajiban itu adalah sebagi berikut:
1. Membina anak-anak untuk beriman kepada Allah, kekuasaan-Nya dan ciptaan-ciptaann-Nya Yang Maha besar, dengan jalan tafakkur tentang penciptaab langit dan bumi. Bimbingan ini diberikan ketika anak-anak sudah dapat mengenal dan membeda-bedakan sesuatu. Dalam membina ini sebaiknya para pendidik menggunakan metode sosialisasi berjenjang. Yaitu dai hal-hal yang dapat dicerna hanya dengan menggunakan indera, meningkat pada hal-hal yang logis.
2. Menanamkan perasaan khusu’, dan ‘ubudiyah kepada Allah Swt. di dalam jiwa anak-anak dengan jalan membukakan mata mereka agar dapat melihat suatu kekuasaan yang penuh mukjizat, dan suatu kerajaan besar yang serba mengagumkan.
3. Menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt. pada diri anak-anak di dalam setiap tindakan dan keadaan mereka.[25]

Kesimpulan
Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua dan lingkungan terhadap anak. Seorang bapak hendaknya memberi pengaruh-pengaruh positif terhadpa anak-anaknya dengan cara membina anak untuk beriman kepada Allah, menanamkan rasa khusu’, dan menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt.
Hadits di atas bisa disebut juga dengan aliran konvergensi tetapi yang Islami yaitu pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan.







Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah. Shahih Bukhari Juz 7.Darul Fikri 1994
Al-Mizi, Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf. Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal. Beirut: Muassasah ar-Risalah
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet. Ke-4
An-Naisabury, Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy. Shahih Muslim. Riyadh: Darus Salam 1998
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres, 2002, cet. Ke-1
Hanbal, Imam Ahmad ibn. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 2. Al-Maktab Al-Islami
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadits. Jakarta: Bumi Aksara. 1997
Khon, Majid. dkk. Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005
Ulwan, Abdullah Nasih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali. Semarang: CV Asy Syifa’
Wensinck, A.J. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Nabawi juz 5
[1] A.J. Wensinck, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Nabawi juz 5. h. 180
[2] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 7 (Darul Fikri 1994), h. 268
[3] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy An-Naisabury, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam 1998), h. 1157-1158
[4] Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 2 (Al-Maktab Al-Islami) h. 346-347
[5] Majid Khon, dkk. Ulumul Hadits. (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005), h. 241-242
[6] Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal Juz al-Tsani. (Beirut: Muassasah ar-Risalah), h. 373-388
[7] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits. (Jakarta: Bumi Aksara. 1997), h. 89
[8] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 18. h.52-61
[9] Jumantoro, Kamus…,h. 4
[10] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 28. h.303-311
[11] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 30. h. 298-300
[12] Jumantoro, Kamus…,h. 70
[13] Khon, Ulumul…,h. 211-212
[14] Khon, Ulumul…,h. 126
[15] Khon, Ulumul…, h. 130-131
[16] Khon, Ulumul…, h. 133
[17] Khon, Ulumul…, h, 151
[18] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), cet. Ke-1, h. 7-8
[19] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. Ke-4, h. 145
[20] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali. (Semarang: CV Asy Syifa’), h. 156-17
[21] Ulwan, Pedoman…,h.157
[22] Arief, Pengantar..., h. 8
[23] Nahlawi, Pendidikan…, h. 45-46
[24] Arief, Pengantar…,h. 5-6
[25] Ulwan, Pedoman…, h. 159-166