Minggu, 25 Oktober 2009

MALAIKAT

MALAIKAT

Surah Fathir ayat 1

1. Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Artinya: Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Firman Allah Ta’ala, “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi,” yakni mengadakan keduanya dari tiada, “yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan” antara Dia dan para nabi-Nya, “yang bersayap”, yakni mereka terbang dengan sayap itu untuk mencapai tujuan yang diperintahkan dengan cepat,” dua, tiga, dan empat”. Di antara malaikat ada yang bersayap dua, bersayap tiga, dan bersayap empat, serta di antara mereka pun ada yang banyak sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits,
“Rasulullah saw. melihat Jibril a.s. pada malam isra. Jibril memiliki enam ratus sayap. Jarak antara sayap yang satu dengan yang lain sejauh timur dan barat.”
Karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Allah menambah pada ciptaan itu apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” As-Sidi berkata, “Allah menambah jumlah sayap dan menciptakan mereka menurut kehendak-Nya.”
Kata father terambil dari kata fathara yang pada mulanya berarti membelah. Dari makna ini lahir makna-makna lain seperti menciptakan pertama kali. Allah seakan-akan membelah ketiadaan lalu dari celahnya muncul ciptaan, yang dalam konteks ayat ini adalah semua langit dan bumi.
Kata malaikah dalam penggunaannya pada bahasa Indonesia, biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama dengan kata ulama. Dalam bahasa Arab –dari mana kata-kata itu berasal—keduanya berbentuk jamak, dari kata malak untuk malaikat dan ‘alim untuk ulama. Ada ulama yang berpendapat bahwa malak terambil dari kata alaka-ma’lakah yang berarti mengutus. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan, untuk berbagai funngsi. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti menyampaikan sesuatu. Malak/Malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah SWT.
Kata ajnihah adalah bentuk jamak dari kata janah yakni sayap. Bagi burung misalnya, sayap adalah bagaikan tangan bagi manusia. Kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yakni memang makhluk ini memiliki sayap –walau kita tidak mengetahui persis bagaimana bentuknya, bisa juga ia dipahami dalam arti potensi yang menjadikan ia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat yang lain. Thabathaba’i menegaskan bahwa inilah yang dimaksud oleh kata tersebut oleh ayat di atas.
Firman-Nya: yazidu fi al-khalq ma yasya’ / Dia menambbahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki, penambahan ini dapat mencakup sekian banyak hal dan aspek, baik jasmani maupun ruhani, ada yang ditambah kekuatan fisiknya, atau spiritual dan kecedasannya. Ada yang memiliki kelebihan dalam keindahan dan kecantikan, atau kepandaian bertutur dan kekuatan argumentasi dan lain-lain sebagainya, penggalan ayat ini mengisyaratkan juga adanya malaikat yang memiliki sayap lebih dari empat. Memang dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rasul saw. melukiskan malaikat Jibril memiliki lima ratus sayap. Az-Zuhri meriwayatkan bahwa malaikat Israfil memiliki dua belas ribu sayap.
Hakikat malaikat diperselisihkan oleh ulama. Banyak yang berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah dan sedikit pun tidak pernah membangkang. Mantan Mufti Mesir, Muhammad Sayyid Thanthawi menulis dalam bukunya al-Qishshah fi Alquran (Kisah dalam Alquran) bahwa malaikat adalah tentara Allah. Tuhan menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, serta menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan untuk berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Menurut Syaikh Thahir bin Shalih al-Jazair, di dalam kitabnya Al-Jawahir al-Kalamiyyah disebutkan bahwa malaikat adalah jisim yang halus yang diciptakan dari cahaya: mereka (malaikat) itu tidak makan dan tidak pula minum, dan mereka itu adalah hamba yang dimuliakan yang tidak bermaksiat kepada Allah dan mengerjakan segala perintahnya.
Informasi tentang kejadian malaikat ditemukan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad at-Tirmidzi dan Ibn Majah melalui isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasul swa. Bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana telah dijelaskan pada kalian.”
Muhammad Abduh yang di satu sisi kelihatan sangat Salafi, di sisi lain ia amat Khalafi dalam membicarakan hakikat malaikat, bahwa malaikat dalam sikapnya yang pertama dapat di lihat dari penjelasannya yang berikut:
Manurut ulama salaf, malaikat adalah makhluk Allah yang keberadaan dan sebagian tugas-tugasnya telah diinformasikan oleh-Nya. Kita wajib mengimaninya dan tidak perlu mengetahui hakikatnya. Pengetahuan tentang hakikat malaikat sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Kalau pun diinformasikan bahwa malaikat itu bersayap, kita harus mempercayai hal itu. Akan tetapi perlulah dipahami bahwa sayap malaikat tentu bukan seperti sayap burung yang berbulu, sebab jika sayap malaikat seperti sayap burung niscaya kita bisa melihatnya. Demikian pula jika diinformasikan bahwa malaikat menjalankan tugas tertentu yang berkait dengan dimensi fisik (jasmaniah), semacam tumbuh-tumbuhan atau lautan, kita perlu menegaskan bahwa di alam ini terdapat alam lain yang keterkaitannya sangat erat dengan system atau hokum-hukum alam itu sendiri. Akal tidak bisa memutuskan hal itu sebagai sesuatu yang mustahil, melainkan sebagai sesuatu yang mungkin, sejalan dengan penegasan wahyu yang memberitakan hal tersebut.
Dari penjelasan tersebut, Muhammad Abduh bersikap sederhana dalam menerima informasi tenttang malaikat, yang penting baginya adalah beriman akan adanya makhluk gaib yang disebut malaikat, dan tidak perlu pusing-pusing mendalami tentang hakikatnya. Hakikat malaikat, menurutnya, hanya Allah yang mengetahuinya. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh, manusia cukup uuntuk mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji persoalan hakikatnya. Hal yang terakhir ini dapat disimak lebih jelas dari pernyataannya yang berikut:
Banyak ulama telah berusaha mengkaji substansi (jawhar) malaikat. Tetapi, yang berhasil menguak misteri ini amat sedikit. Oleh karena mengetahui atau mengkaji tentang hakikat malaikat termasuk taklif (beban) yang nyaris berada di luar batas kemampuan manusia, maka bisa dibenarkan manusia cukup mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji hakikattnya. Tentu saja merupakan keistimewaan tersendiri bagi orang yang dikaruniai Allah “ilmu-plus” mengenai hal tersebut.
Di atas semua itu, ternyata Muhammad Abduh mempunyai pemahan lain tentang pengertian malaikat, dan dalam menyampaikan pendapatnya ia tidak begitu saja mengabaikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Menurut Rasyid Ridha, kelihatannya Muhammad Abduh ingin memperluas pembicaraan mengenai malaikat itu.
Menurut Muhammad Abduh, Alquran menuturkan bahwa malaikat itu bermacam-macam, yang masing-masing mepunyai tugas dan pekerjaan sendiri-sendiri. Bahwa ilham kebaikan dan bisikan kejahatan merupakan hal-hal yang pernah dijelaskan oleh Rasulullah. Keduanya dapat disandarkan pada makhluk yang berdimensi metafisik itu. Ide-ide kebaikan yang disebut dengan ilham dan ide-ide kejahatan yang identik dengan bisikan setan, menurut Muhammad Abduh, masing-masing berpusat pada ruh. Dengan demikian, malaikat dan setan merupakan ruh-ruh yang berhubungan dengan ruh manusia. Dari itu, katanya, tidaklah tepat tidaklah tepat jika malaikat digambarkan secara fisik. Sebab, kalau pun ia mengadakan kontak dengan ruh manusia tentulah jasad kontak itu terjadi melalui jasad/tubuh, sementara manusia sendiri, kata Muhammad Abduh, tidak merasakan sedikit pun adanya kontak itu, baik ketika timbul bisikan maupun ketika timbulnya dorongan dari lubuk hati untuk berbuat kebaikan. Maka dari itu, menurut pendapatnya, malaikat pasti berasal dari alam non-fisik. Bagi setiap Muslim wajib mengimani ayat yang berbicara tentang malaikat atau memandang kemungkinan ayat itu sekedar berbicara tentang tamtsil, kemudian ia mengambil pelajaran darinya.

Surah Al-A’raf 206

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.
Allah memuji para malaikat yang bertasbih siang dan malam tanpa henti. Dia berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah.” Allah menceritakan mereka tiada lain kecuali supaya malaikat yang melakukan ketaatan dan ibadat yang banyak itu diikuti. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan kepada kita agar bersujud (tilawah) tatkala Allah menceritakan sujudnya malaikat kepada-Nya.
Fiman Allah Ta’ala. “Dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud” merupakan ayat sajadah pertama dalam Alquran dan disyari’atkan secara ijma’bagi orang yang membaca dan mendengarnya agar bersujud. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Darda, dari Nabi saw.: “Sesungguhnya beliau menghitung ayat itu sebagai ayat Sajadah di dalam Alquran.”
Ayat di atas melukiskan tiga sifat malaikat, yaitu pertama, tidak sombong atau enggan beribadah, karena keangkuhan mengantar kepada kedurhakaan; kedua, bertasbih menyucikan Allah dari segala kekurangan; dan ketiga, selalu sujud dan patuh kepada Allah. Selanjutnya karena ibadah lahir dari ketiadaan keangkuhan, dan ini terdiri dari dua hal, rohani dan jasmani maka yang berkaitan dengan hati adalah penyucian Allah SWT., dan yang berkaitan dengan jasmani adalah sujud kepada-Nya. Karena itu ayat di atas diakhiri dengan menyebut kedua hal tersebut – menyucikan Allah dan bersujud – selanjutnya, menyucikan Allah dan sujud kepada-Nya dapat mengantar seseorang menuju kedekatan kepada-Nya. Demikian kesimpulan pakar tafsir Abu Hayyan.

Surah Ar-Ra’ad ayat 11

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada lindung dari mereka selain Dia.”
Kata al-mu’aqqibat adalah bentuk jamak dari kata al-mua’qqibah. Kata tersebut terambil dari kata ‘aqiba yaitu tumit, dari sini kata tersebut dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan di sini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/ memliharanya dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalamsetiap gerak langkahnya, baik ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti memliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan penciptaannya.
Firman Allah Ta’ala, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya.” Yakni, seorang hamba memiliki sejumlah malaikat yang datang bergantian. Malaikat itu menjaganya malam dan siang serta memeliharanya dari aneka keburukan dan kejadian. Malaikat lain pun datang bergantian untuk menjaga aneka amal hamba baik yang baik maupun yang buruk. Hal ini seperti dikemukakan dalam sebuah hadits, yang artinya:
“Para malaikat bergiliran untukmu pada malam dan siang hari. Mereka berkumpul dalam salat subuh dan salat ashar. Kemudian malaikat malam naik kepada Allah. Allah bertanya, kepada para malaikat sedang Dia lebih mengetahui tentang kamu, ‘Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku saat kamu tinggalkan?’ Para malaikat berkata, ‘Kami mendatangi mereka sedang mengerjakan salat dan kami meninggalkan mereka sedang salat pula.’”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bahwa, Rasullah saw. bersabda,
“Tiada seorang pun di antara kamu melainkan Allah menyertakan untuk mendampinginya seorang jin dan seorang malaikat.” Para sahabat bertanya, “Juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Juga aku, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkan jin. Maka dia tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.” (HR Muslim)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” Dalam arti Allah menjadikan para mu’aqqibat itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memlihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaumsehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi menyekutukan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni’mat (nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan dan seterusnya. Ini adalah suatu ketetapan pasti yang kait mengait. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Surah Qaaf ayat 20-26

Artinya: (20) “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.”
Firman Allah, “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.” Yaitu, hari kiamat. Diterangkan dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana mungkin aku akan bersenang-senang, sedangkan pemegang terompet mengulumnya dan mendekatkan wajahnya, dan menunggu izin untuk ditiupnya?” Mereka mengatakan, “Ya Rasulullah apa yang mesti kita lakukan?” Rasulullah menjawab,
Artinya: “Katakanlah, ‘cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’ Maka para sahabat ketika itu mengatakan , ‘Cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’”

Ayat (21): “Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya penggiring dan penyaksi.”
Kata sa’iq pada mulanya digunakan dalam arti sesuatu yang menjadikan sesuatu yang lain berada di hadapannya, menggiring dan mengarahkannya ke depan sambil mengawasi agar sesuatu itu tidak melangkah ke tempat yang tidak diinginkan oleh penghalau itu. Dari sini kata sa’iq dipahami juga dalam arti kusir/ pengemudi. Kata yang seakar dengan kata tersebut dugunakan Alquran untuk yang dihalau ke neraka serta yang diantar ke surga, walau sementara ulama berpendapat bahwa pada dasarnya ia digunakan untuk yang menggiring ke arah yang tidak menyenangkan.
Ibn ‘Asyur cenderung memahami kata nafs/ diri pada ayat di atas dalam arti diri seorang musyrik, bukan yang taat. Pakar tafsir yang satu ini berpendapat demikian dengan alasan konteks uraian ayat yang mengarah ke sana, dan penggunaan kata sa’iq yang menurutnya hanya digunakan bagi yang dihalau menuju tempat yang tidak disenangi.
Ayat di atas tidak menjelaskan siapa penggiring dan saksi itu. Tidak juga menjelaskan ke mana manusia digiring dan apakah saksi yang bersama mereka itu adalah hanya seorang saksi atau ada saksi lain. Penggiring tersebut boleh jadi malaikat yang ditugaskan mencatat amal-amal manusia – dan pendapat inilah yang paling sejalan dengan konteks ayat -- tetapi boleh jadi juga malaikat lain atau makhluk lain. Sedang saksi bisa jadi malaikat lain, atau diri manusia sendiri. Bukankah ketika itu anggota badan manusia akan bersaksi di hadapan Allah swt. Betapapun, yang jelas saksi pada hari kemudian tidak hanya satu saksi, tetapi banyak saksi.

Ayat : (22) “Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami telah singkapkan darimu tabir matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Kata ghitha’/ tabir yang menutup mata itu dipahami oleh sementara ulama dalam arti kecenderungan yang berlebihan terhadap materi, kekuasaan dan aneka ajakan nafsu.
Firman Allah, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Yaitu, aku lalai terhadap hari-Mu ini, yaitu hari kiamat. “Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam,” yakni dengan kuat. Karena, pada hari kiamat setiap orang akan mempunyai pandangan yang kuat, termasuk orang-orang yang kafir ketika di dunianya. Pada hari kiamat nanti, pandangan mereka stabil, akan tetapi semua itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa bagi mereka.

Ayat 23-26
Artinya: “Dan berkata temannya: “Inilah di sisiku telah tersedia.” “Lemparkanlah oleh kamu berdua ke dalam jahannam semua yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi meragukan, yang menjadikan bersama Allah sembahan yang lain, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang keras.”
Kata alqiya bentuk mutsanna/ dual. Ini dipahami dalam arti perintah kepada sa’iq dan syahid mengantar sang kafir menuju ke neraka. Ada juga yang memahami bentuk tersebut sebenarnya hanya tertuju satu person/ malaikat. Itu ditunjukkan kepada qarin. Bentuk dual tidak jarang digunakan bahasa Arab untuk menentukan sesuatu sekaligus bermakna “lakukan hal itu dua kali.” Dengan demikian ayat ini bagaikan berkata: Lemarkanlah! Sekali lagi, lemparkanlah!
Kata kaffar adalah bentuk hiperbola dari kata kafir yakni orang yang sangat banyak dank eras kekufurannya. Kata ‘anid adalah orang yang sangat keras kepala serta selalu menentang kebenaran, walau telah jelas baginya.
Sifat-sifat sang kafir yang beraneka ragam sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas, menggambarkan dampak buruk berurutan dari kekufuran. Yakni siapa yang sering kali melakukan kekufuran, maka ia akan bersifat keras kepala menolak kebenaran yang dihadapinya, dan ini aka menjadikan ia bersifat ‘anid. Selanjutnya sifat keras kepala ini mengantarnya terhalangi dari kegiatan yang positif atau dalam bahasa ayat di atas manna’in lil khair / sangat enggan melakukan kebajikan, karena hanya kebenaran yang mengantar kepada kebajikan. Lalu sifat yang terakhir ini mengantarnya menjadi mu’tad(in)/ melampaui batas dan pengabdian kepada Allah. Ia bersikap aniaya terhadap orang lain yang antara lain tercermin dalam upaya menghalangi manusia menerima kebenaran dengan jalan menanamkan keraguan pada hati mereka atau dalam istilah ayat di atas murib. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Kata qarin/ teman dipahami oleh sementara ulama sebagai setan yang menyertai manusia sewaktu berada di dunia. Dialah yang berkata: “Inilah orang kafir yang ada di sisiku ini telah tersedia yakni siap untuk dimasukkan ke dalam neraka, karena aku telah menyesatkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa teman itu adalah malaikat yang disinggung ayat yang lalu. Yakni jika yang dimaksud adalah penggiring, maka sang malaikat itu menunjuk pada seorang kafir yang dihalaunya ke neraka. Sedang bila yang berkata itu adalah saksi maka dia menunjuk kepada amal-amal yang disaksikannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazair, Syaikh Thahir bin Shalih. Al-Jawahir al-Kalamiyyah. Surabaya: Al-Hidayah.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasisn Alquran. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Teman dan Persahabatan

Tentang teman dan persahabatan :

Kita harus belajar hidup berdampingan sebagai saudara, kalau tidak mau
musnah sebagai orang-orang tolol. (Martin Luther King, Jr.)

Satu-satunya cara untuk mendapat sahabat adalah dengan menjadi sahabat.
(Ralph Waldo Emerson)

Persahabatan yang mengalir dari hati tidak bisa dibekukan oleh kesengsaraan.
(James Fennimore Cooper)

Kita mewarisi sanak keluarga dan bentuk fisik dari nenek moyang tanpa bisa
mengelakkannya; tetapi kita bisa memilih pakaian kita dan teman-teman kita, dan
hendaknyalah kita berhati-hati agar keduanya cocok bagi kita. (Volney Steamer)

Perasaan mempersatukan manusia, pendapat memisahkannya. Persahabatan remaja
dibentuk oleh yang pertama. Klik di usia dewasa sayangnya sering dibentuk oleh
yang kedua. (Johann Wolfgang von Goethe)

Binatang adalah teman yang menyenangkan. Mereka tidak bertanya macam-macam,
mereka tidak mengritik. Apakah tujuan hidup kita, kalau bukan untuk meringankan
hidup orang-orang lain. (George Eliot)

Teman jangan disakiti, juga saat berolok-olok. (Syrus)

Kekuatan bisa berkurang, tetapi cinta bisa bertambah; dan orang yang
memaafkan lebih dulu adalah yang menang. (William Penn)

Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan
kasihnya yang tidak diketahui orang lain. (William Wordsworth)

Siapa yang tidak menyayangi orang lain maka tidak akan disayangi orang.
(Rasulullah SAW)


Belumlah sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga mengasihi saudaranya
sebagaimana mengasihi diri sendiri. (Rasulullah SAW)

ABDUL KARIM AL-JILI INSAN KAMIL

ABDUL KARIM AL-JILI
INSAN KAMIL


A. Biografi
Nama Al-jili cukup dikenal dalam kalangan peminat dan peneliti tasawuf, tetapi riwayat hidupnya, yang mennyangkut tahun kelahiran, pendidikan, dan perananya dalam masyarakat, sangat sedikit yang diketahui. Hai itu disebabkan Al-jili sendiri tidak meninggalkan catatan yang menceritakan tentang dirinya, dan murid-muridnya pun tidak ada yang menulis tentang kehidupannya. Kendati demikian, kehidupan Al-jili tidak seluruhnya berada dalm kegelapan, karena dalam beberapa tulisannya ia melengkapi uraiannya dengan mencantumkan tempat dan tahun keberadaannya.
Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Ia mendapatkan gelar kehormatan ”syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu, ia juga mendapat gelar ”Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad ”jil’.
Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa—menurut pengakuannya sendiri—ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w. 821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di Asia Tengah),Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahnu berikutnya gurunya meninggal.
Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya.
B. Karya-Karya Al-Jili
Sebagaimana riwayat hidupnya,karya-karya al-jili pun tidak banyak diketahui secara pasti, sehingga kita tidak bisa memperkirakan jumlah yang tepat dari hasil karyanya itu. Iqbal mengatakan bahwa karya la-jili tidak banyak seperti ibn ‘Arabi. Iqbal hanya menyebutkan tiga dari kitab-kitabnya, yaitu suatu ulasan atas karya ibn ‘Arabi, al-futuhat al- makkiyah, suatu komentar atas basmalah, dan karyanya yang terkenal al-Insan al-Kamil.
Ada lagi penelitian yang lebih akurat ialah yang dilakukan oleh Haji Khalifah. Ia mencatat, bahwa al-jili telah menulis enam judul karya tulis, yaitu (1)Al-Insan Al-Kamil Fi Ma’rifat-I ‘L-Awakhir Wa ‘L-Awa’il,(2)Al-Durrah Al-‘Ayniyah Fi L-Syawahid Al-Ghaybiyah,(3)Al-Kahf Wa ‘L-Raqim Fi Syarh Bi Ism-I ‘L-Lah Al-Rahman Al-Rahim,(4)Lawami Al-Barq,(5)Maratib Al-Wujud,(6)Al-Namus Al-Aqdam.
Penelitian Haji Khalifah itu dilengkapi oleh Isma’il Pasya al-Baghdadi. Ia mencatat lima karya al-jili selebihnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:
1. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, Buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Babi al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.Buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis.
2. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
3. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim, Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.

4. Lawami’ al-Barq
5. Maratib al-Wujud, Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
6. Al-Namus al-Aqdam, Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
C. Konsep Insan Kamil Al-Jili
Pengertian dan Hakikat Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata insan dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa.Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
Al-jili seperti ibn ’Arabi, memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak, yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah, dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Di dalam kesendirian-Nya yang gaib itu esensi mutlak tidak dapat dipahami dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya, karena indera, pemikiran, akal, dan pengertian mempunyai kemampuan yang fana dan tidak pasti, hal yang tidak pasti akan menghasilkan ketidakpastian pula. Karena itu, tidak mungkin manusia yang serba terbatas akan dapat mengetahui zat mutlak itu secara pasti. Al-jili mengatakan,”Sesungguhnya saya telah memikirkan-Nya, namun bersama itu pula saya bertambah tidak tahu tentang Dia”. Ungkapan tersebut senada dengan ucapan ibn ’Arabi,”Tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.”
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alamsemesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan penciptaan alam yang dilakukan oleh tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada. Menurut al-jili alam ini bukanlah dicptakan Tuhan dari bahan yang telah ada, tetapi diciptakan-Nya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) di dalam ilmunya. Kemudian, wujud alam yang ada di dalam ilmu-Nya itu dimunculkan-Nya menjadi alam empiris.
Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan berbilannya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu.
Menurut pandangan al-jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan sekaligus imanen. Al-jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam laksana air dan es (air yang membeku). Tuhan al- Haqq, diumpamakan sebagai air. Dan alam diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara ”es” dan ”air” ini, Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa al-jili melihat adanya dua bentuk wujud, yakni wujud haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya berupa wujud ”yang dipinjam” dari wujud haqqi. ”Es” sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud ”pinjaman”, sedangkan wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan dari wujud haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud, yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi hanya berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat lain, al-jili menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i sebagai aspek aspek-aspek dari wujud yang satu.
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli yang paripurna, sementara di sisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Selain itu, insan kamil adalah kutub yang diedari oleh segenap alam wujud ini dari awal smapai akhirnya dan ia hanya satu, sejak permulaan wujud sampai akhirnya.
Kesempurnaan insan kamil itu tidak lain adalah karena ia merupakan identifikasi dari hakikat Muhammad.Hakikat Muhammad , yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos, pada dasarnya merupakan arketipe kosmos. Makhluk memperoleh kesejahteraan pada hakikat ini dan mendapat rezeki dari wujudnya. Ia juga merupakan arketipe dari Bani Adam, yang semuanya secara potensial adalah insan kamil, meski hanya dikalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Kalau al-Hallaj memandang nur Muhammad itu qadim dan ibn ’Arabi memandangnya itu qodim dalam ilmu tuhandan baru ketika ia menyatakan diri pada makhluk, maka al-jili memandangnya baru. Nagi al-jili hanya ada satu wujud yang qadim, yaitu wujud Allah sebagai zat yang wajib(pasti, niscaya)ada. Wujud tuhan dipandang qadim karena Dia tidak di dahului oleh ketiadaan. Al-jili menjelaskan, sekalipun wujud yang diciptakan itu sudah ada semsnjak qidam didalam ilmu Tuhan, ia tetap dipandang baru dalam keberadaanya itu, karena ia ”disebabkan” oleh wujud lain yang secara esensialtelah lebih dulu ada, yakni wujud Tuhan.oleh karena itu, kata al-jili, a’yan tsabitah yang ada dalam ilmu Tuhan bukan qadim, tetapi baru.
Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.


D. Proses Munculnya Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah). Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1. al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
2. al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
3. al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’)
4. al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas
5. al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya
6. al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
7. al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya
c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas
d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.
E. Kedudukan Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi juga, al-jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.






Kesimpulan
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).
Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat al-Muhammadiyah sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).
Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.

Daftar Pustaka

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi “Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili”. Jakarta:Paramadina, 1997

http://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/

http://ichang.org/archives/34

IBN ARABI: WAHDATUL WUJUD DAN TAJALI

IBN ARABI:
WAHDATUL WUJUD DAN TAJALI


A. Biografi Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Ali ibn Ahmad Ibn Abdullahal-Tha’i alhatimi, ia lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, ber lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, berasal dari keluarga berada, ilmuan dan berpangkat. Pada usia 8 tahun ia bersama keluarganya pindah ke Sevilla. Setelah selesai studi di Sevilla, ia pindah ke Tunis dan disana ia masuk aliran sufi. Pada usia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Ditahun 1202 M ia pergi ke Mekkah Dan akhirnya ia tinggal sampai wafat di Damaskus, Syam tahun 638 H/1240 M.
Ibn Arabi adalah tokoh besar tasawuf yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang sangat besar di kalangan para sufi setelahnya, baik di Barat maupun di Timur. Selain sebagai sufi Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 judul.
Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya juga dinisbatkan doktrin wahdatul wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. Peliknya, istilah ‘wahdatul wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi.
Kendati istilah wahdatul wujud tidak dijumpai orang pada tulisan-tulisan Ibn Arabi, tidak diragukan bahwa pada karya tulisnya, seperti al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam dapat dijumpai banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung paham itu yang merupakan sebuah antalogy puisinya tentang cinta Ilahi.
Apabila kita baca kitab-kitab tersebut, bagaimanapun tenangnya kita menyelidikinya, tidaklah kita akan segera dapat memahami, kalau kita tidak masuk lebih dahulu kedalam alam tasawuf dan meminta diberi petunjuk oleh guru-guru yang mengerti benar, isyarat da maksud apakah yang terkandung dalam kata-kata yang penuh rumus itu. Sebab kaidah kata-kata yang dipilihnya amat berbeda dengan kuasa kata-kata yang dipakai dalam lapangan ilmu yang lain.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelat-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam. Itulah sebabnya Wahdatul Wujud merupakan suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.

B. Wahdatul Wujud
Ajaran tasawuf Ibn Arabi titik sentralnya adalah Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud). Ajaran ini penuh dengan nuansa simbolik, dan cenderung dekat pada paham Pantheisme, sehingga ajaran ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra tehadap konsep ini, misalnya kecaman yang datang dari pembela syari’at (terutama terkait dengan masalah tauhid), mengatakan bahwa paham ini sebagai paham sesat dan dapat merusak keimanan masyarakat muslim. Sehingga tidak jarang diantara para pengeritik tasawuf berani mengkafirkan para sufi. Sebaliknya, bagi para pendukungnya menganggap bahwa ajara ini harus dikembangkan, bahkan untuk mengembangkan ajaran ini mereka rela mati sekalipun.
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tauhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap paham ini, satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Wahdatul Wujud Ibn Arabi telah memberikan nuansa yang sangat luas bagi perjalanan tasawuf dan tarekat. Pengaruhnya itu tidak saja terlihat di dunia Barat dan Timur tetapi juga dirasakan sampai ke Indonesia.
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-Wujud artinya ada. Dengan demikian Wahdatul wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang atnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula para ahli filsafat dan sufistik sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang lahir dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikanya adim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjtnya diguakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul karena nusut yang ada dalam hulul di ubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang di sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq . Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-’ arad dan al-jauhar, dan dari dahir (lahir) dan al-batin (dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ’ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam yang mempunyai jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanandan sifat kemakhlukan. Tetapi aspek yang terpenting adalah aspek batinya dan aspek ini yang merupakan hakikat dari tiap-tiap yang wujud.
Renungan zauq tasawuf yang didasarkan kepada renungan pikir filsafat ini, timbul sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk. Menurut Ibn Arabi alam ini diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka Tuhan cukup melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dengan kata lain, walaupun pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tapi pada tiap-tiap yang ada itu terdapat sifat Ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah timbul paham kesatuan wujud dengan pengertian, bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini sebenarnya adalah satu.
Dengan kata lain makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan, tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunya wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunya wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya yaitu Tuhan. Tegasnya, yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah bayangan.
Ia juga menjelaskan bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Dan segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini.
Tuhan Imanen dan juga transenden. Ia adalah imanen sejauh Ia menyatu dengan alam; dan Dia adalah satu dengan alam dalam wujud, sebagai mana juga dengan sifat-sifat, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman mengada di alam – yang diyakini dan diketahui, dikehendaki dan dilaksanakan, dinikmati dan dirasakan – yang mana ia merupakan subyek nyata. Ia adalah transenden sejauh ia berbeda dengan alam; dan Ia berbeda dari dunia sejauh dalam sifat-sifat yang tidak dapat menyatu dengan dunia, misalnya bahwa Dia adalah tak terbatas dan abadi, maha pencipta dan sesembahan, mengatur dan menuntun dan lain-lain.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini adalah Patheistik, tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara Wahdatul Wujud dengan Pantheisme. Menurut paham Ibn Arabi, hakikat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedang wujud yang banyak itu hanya bayangan dari yang satu itu. Dalam Pantheisme essensi Tuhan itu terdapat dalam setiap yang ada. Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, maka wujud yang selain Tuhan juga tidak ada.
Ungkapan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah wujud Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedang wujud alam adalah wujud Tuhan dengan bentuk alam dapat mengundang pertayaan apakah Tuhan dan alam itu menjadi setara atau bukan. Untuk menjawab pertanyaan ini orang perlu mengingat pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih (mensucikan-Nya) dan tasybih (menyerupakan-Nya). Menurut Ibn Arabi, syariat Islam datang dengan ayat-ayat al-Quran yang men-tanzih-kan Tuhan dan ayat-ayat yang men-tasybih-kan-Nya. Oleh sebab itu, menurutnya Tuhan haruslah di- tanzih-kan dengan tanzih yang tidak me-nafi-kan (meniadakan) tasybih dan di-tasybih-kan dengan tasybih yang tidak meniadakan tanzih.
Dengan memperhatikan pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih diatas, maka wujud alam –kendati dikatakan wujud pemberian Tuhan atau dikatakan wujud Tuhan dalam bentuk alam- tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara dengan Tuhan dan tidak pula dinamakan Tuhan. Alam bisa dipahami memiliki kemiripan dengan Tuhan ata bentuk alam morop dengan bentuk Tuhan, kendati bentuk Tuhan tersebut tetap ghaib (tidak dikenal) oleh selain Tuhan.Pengertin bahwa bentuk alam mirip dengan bentuk Tuhan, selain dapat disimpulkan dari pengakuan bahwa ia adalah mitsl-Tuhan yang diaki dvlam tasybih, juga dapat disimpulkan dari pengajaran-pengajaran yang lain seperti, pengajaran bahwa Adam, segenap manusia, bahkan segenap alam diciptakan Tuhan berdasarkan bentuk-Nya. Karena diciptakan-Nya menurut bentuk-Nya, maka wajar dipahami bahwa bentuk alam itu mirip dengan bentuk Tuhan.
Men- tanzih-kan Tuhan dan sekaligus men-tasybih-kan-Nya dengan alam, bagi Ibn Arabi adalah upaya yang benar. Siapa yang men-tasybih-kan tanpa me-tanzih-kan-Nya, maka orang itu menurut Ibn Arabi jahil (tidak mengenal Tuhan), sedang orang yang men-tanzih-kan tanpa men-tasybih-kan-Nya dengan alam, maka orang itu menurutnya orang itu baru mengenal Tuhan dengan separuh pengenalan. Orang yang sempurna pengetahuannya (pengenalannya) tentang Tuhan, niscaya me-tanzih-kan-Nya di satu pihak dan men-tasybih-kan-Nya di pihak lain.

B. TAJALLI
Kata “tajali” merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan-dasar pandangan-dunianya. Semua pemikiran Ibn ’Arabi ihwal struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan-dunianya yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan, yakni dengan merujuk pada Hadis Qudsi kanzun makhfiyyan (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, ia dengan mudah melihatnya kepada alam karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada di alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap cermin ia dapat melihat dirinya dalam jumlah yang banyak tetapi sebenarnya wujudnya hanya satu.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai denga ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti.
Pengajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian banhwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih. Alam sebagai tajalli Tuhan haruslah dipahami dengan pengertian bahwa alam yang mengaktual dengan bentuk-bentuk yang beranekla ragam merupakan sebagai aktivitas Tuhan dan sekaligus melalui akibat-akibat tersebut Dia menampakkan (menunjukkan) keberadaan diri-Nya kepada alam atau manusia.
Penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami dengan pengertian penampakkan-Nya secara tidak langsung, yakni melalui bentuk-bentuk aktualitas alam Dia menunjukkan keberadaan dat-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya sedang dia sendiri berada di “belakang” dari segala penampakkan atau tajalli-Nya itu. Pengertian seperti ini sebenarnya terkandung dalam tulisan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa setivp nama Tuhan memperoleh bentuk-bentuk yang tak berkesudahan dalam tajalli-tajalli dan kita mengetahui bahwa Tuhan berada di belakang semuanya itu. Jadi, apapun dalam alam adalah tajalli Tuhan, tapi bukan Tuhan, kendati Dia memang berada di belakang segala sesuatu dan terus menerus menunjukkan diri-Nya melalui segala sesuatu.
Pengertian diatas juga berlaku pada ungkapan bahwa Tuhan menampakkan dirinya kepada orang-orang yang terbuka matv batin merekasehingga dikatakan juga merekamelihat Tuhan pada waktu kasyf. Melihat Tuhan pada waktu itu tidak lebih dari melihat tajalli (penampakkan-Nya), bukan bentuk diri-Nya langsung sebagaimana ada-Nya. Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang sesuai denga keyakinan orang yang mengalami kasyf dan ini menurutnya sesuai dengan firman Tuhan dalam hadits kudsi, “Aku seperti persangkaan hamba-Ku. Lebih lanjut dikatakannya bahwa yang dilihat orag yang mengalami kasyf itu tidak lain dari bentuk diri/jiwanya sendiri.








DAFTAR PUSTAKA

Ansori, Dr. Muhammad Abd. Haq, Antara Sufisme dan Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Dahlan, Prof. Dr. Abdul Azis, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Manusia, Padang: IAIN-IB Press, 1999
Ismail, Dr. H. Asep Usmar, M. A. dkk, Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), 2005
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2008
Nata, Prof. Dr. H. Abudin, M. A, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983
Siregar, Prof. H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
http://swaramuslim.net/more.php?id=5345_0_1_0_M
http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
http://inci73.multiply.com/reviews/item/24
http://amuli.wordpress.com/2008/11/12/konsep-konsep-kunci-metafisika-ibn-arabi-tajali-al-haqq

“AL-HALLAJ DAN AJARANNYA AL-HULLUL”

“AL-HALLAJ DAN AJARANNYA AL-HULLUL”

A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi . Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus dekat Baida (Parsi) , sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas .
Pada masa remaja ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan alasan yang tidak jelas. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury adalah guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya tentang kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an .
Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Bashrah dan belajar kepada Shufi ‘Amar Al-Maliki, di tahun 264 H (878 M). Dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Dalam konteks umum, Baghdad di akhir abad 3/9, awal 4/10 adalah sebuah tempat yang menggairahkan dan berbahaya : bagi kaum mistikus yang tidak lebih kecil daripada kaum politikus dan pujangga, banker dan pemikir, hakim dan ahli tulis, kaum tradisonalis dan filsuf . Setelah itu dia pun pergilah mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam Ilmu Tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang Syekh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntunannya. Dan tiga kali dia telah naik Haji ke Mekkah. Dalam perjalanannya dan pertemuannya dengan ahli-ahli sufi itu, timbulah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqh terkemuka , Ibnu Daud Al-asfahani mengelurkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya.
Dari Baghdad melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disanalah dia bersembunyi empat tahun lamanya, dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya di tahun 301 (903 M) dapat juga dia ditangkap kembali, dimasukan pula ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 301 H (903 M) diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian di bakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Al-hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan surat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadits, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibnu Nadim mencatat bahwasanya karangannya tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah :
• Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
• Kitab Al Ushul wal Furu’.
• Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
• Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
• Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
• Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
• Kitab “Hua, Hua”.
• Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu, dan kitab At- Thawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga kata Al-Taftazani mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab itu berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.

B. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ Sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan tersebut berbunyi :

إ ن الله ا صطفى ا جسا ما حل فيها بمعا نى الر بو بية و ا زا ل عنها معا نى البشر ية.

“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dalam bukunya bernama al-thawasin.
Faham al-Huluul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(ajaran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh .
Helbert W. Mason mengatakan Al-Huluul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy) . Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk. Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzatnya dan Ia pun cinta pada
zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari ayat yang berbunyi :
            
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-baqarah ayat 34).
Menurut al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as.


Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentukNya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang berbunyi :

إ ن الله خلق ا د م على صو ر ته.
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
“ Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku”
Pada syair yang lain al-Hallaj juga mengatakan :
“ Aku adalah dia yang aku cintai
dan dia yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat dia, engkau melihat kami .
Dengancara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan. Hanya saja dalam konsep al-Huluul diri al-Hallaj tidak lebur berbeda dengan konsep ittihad –nya al-Bustami dimana ia lebur yang ada hnaya Tuhan. Sebenarnya al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :
“Aku adalah Yang Maha Benar….
Dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku hanya satu dari Yang Maha Benar,
Maka bedakanlah antara kami “.
Tujuan dari al-Huluul adalah mencapai persatuan secara bathin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Huluul adalah ketuhanan (lahut), menjelma kedalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam perjalanan hidup kebatinan . Untuk memahami doktrin al-Huluul ini seharusnya merujuk kepada penjelasan al-Hallaj sendiri seperti berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senatiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempatdalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan”.
Penjelasan ini setidaknya menginformasikan tiga hal berkaitan dengan bangunan konsep al-Huluul. Pertama, terkait dengan pra kondisi al-Huluul tersebut. Seperti al-ittihad, fana’ an- Nafs juga merupakan pra kondisi atau pintu gerbang menuju al-Huluul. Kalau fana’an-nafs telah membuat Abu Yazid al-Bustami sampai kepada terjadinya al-ittihad, maka bagi al-Hallaj itu mendorongnya samapi kepada al-Huluul. Kedua, menyangkut makna hakikat al-Huluul. Ketika al-fana mencapai puncak yang ditandai dengan leburnya nasut sufi secara total sehingga dirinya dikuasai oleh lahut nya, maka disaat itulah nasut Tuhan turun dan mengambil tempat pada diri sufi untuk bersatu dengan lahut-Nya. Inilah makna substansi al-Huluul. At-Taftazani berpendapat bahwa doktrin al-Huluul itu merupakan kesadaran psikologis.
Oleh karenanya kesatuan dalam faham ini hanya bersifat figuratif bukan merupakan kesatuan yang riil. Dengan kata lain, persatuan figuratif dalam al-Huluul masih mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan antara ruh Tuhan dan ruh sufi sebagaimana tampak begitu jelas dalam ungkapan al-Hallaj sendiri “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku / mu’zijat ruhuka fi ruhiy” dan “ Kami adalah dua ruh yang bertempat pada satu tubuh / Nahnu ruhaani halalnaa badanan”. Ketiga, Menyangkut dampak psikologis yang mengiringi al-Huluul. Ketika tercapai puncak al-Huluul, seluruh kehendak sufi terserap dan diliputi oleh kehendak Tuhan. Sehingga seluruh aktifitas yang muncul bukan lagi aktifitas sufi melainkan aktifitas Tuhan, hanya saja melalui organ tubuh sufi. Dengan demikian pernyataan ”Ana Al-Haqq” tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallaj untuk mengepresikan dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan) melainkan perkataan Tuhan untuk mengepresikan dirinya sebagai Tuhan , Hanya saja melalui lisan al-Hallaj.
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentang Al-hallaj mengenai ajarannya tentang al-Hullu, mudah-mudahan bermanfaat khususnya bagi yang membuat makalah ini, umumnya bagi yang membacanya. Wallahu ‘Alam bi Al-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta : LSIK, 1993.
B. Lewis, The Encyclopaedia of Islam, vol.III, E.J. Brill, Leiden, 1971.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : PT. Pustaka Panji Mas, 1984.
Leonard Lewisohn dkk, Warisan Sufi : Sufisme Klasik dari Permulaan Hingga Rumi, Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002.
http://one.indoskripsi.com/node/5989.

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: ITTIHAD

ABU YAZID AL-BUSTHAMI: ITTIHAD


PENDAHULUAN

Kerasulan Muhammad yang merupakan cahya dalam Islam yang menerangi Arabia telah menembus kebagian-bagian terpencil Irak, Iran Syiria dan bahkan Turkistan. Tatatan baru sufi muncul dikawasan tersebut. Mereka percaya pada penolakan kesenangan duniawi, melalui penanaman rasa malu dan penangkalan diri. Anggota-anggota mereka antara lain kaum sufi yang terkenal, seperti Robi’a al Addawiyah, Hasan al-Basri dan Bayazid al-Bustami, yang membawa Islam kedaerah-daerah terpencil, dan berhasil menarik banyak orang memeluk Islam.

Pembahasan


A. Abu Yazid Al-Bustami serta Pengalaman Spritualnya
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia dilahirnya Dibustam nama salah satu didaerah Qunais, bagian timur laut Persia pada tahun 200 H/814 M.
Sebelum Abu Yazid mempelajari ilmu Tasawuf, dia belajar agama islam, terutama dengan bidang fiqih menurut Hanafi. Kemudian dia mempelajari ilmu tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga tentang fana’ dari abu ali sindi.
Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya Zahid itu adalah seseorang yang mampu mendo’akan dirinya untuk selalu mendekatkan dengan Allah SWT. Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Abu Yazid adalah tokoh sufi yang pertama yang memunculkan faham Fana’, Baqa’ dalam tasawuf. Dia ingin selalu dekat dengan Allah, seperti terlukis dari ucapannya “Aku bermimpi melihat Tuhan, akupun bertanya; Tuhanku, bagaimana caranya agar aku bisa sampai dekat kepadamu? Tuhan menjawabnya tinggalkanlah dirimu dan datanglah kepadaku”.
Beberapa pendiriannya, misalnya mengenai pengertian sakar, mabuk dalam mencintai Allah. Kata yang diucapkannya acapkali mempunyai arti dan makna yang begitu dalam, sehingga jika ditangkap secara lahir seakan-akan membawa kepada syirik karena mempersatukan antara Allah dan manusia.
Dalam Sejarah pewrkembangan Tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami dipandang sebagai pembawa faham fana’ dan baqa’, serta sekalgus pencetus faham ittihad. A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicatede (sufi yang mabuk kepayang pertama kali).
Dengan cara fana’ Abu yazid al-bustami meninggalkan dirinya dengan menuju kehadirat tuhannya. Dia berada sangat dekat dengan tuhan dia dapat melihat dalam kesempatan Syathohat dia ungkapkan. Ungkapan Abu Yazid tentang fana’ dan ittihad (menyatu) dengan Tuhan, sebagaimana diucpkan dari abu yazid : ”aku ini Allah, tidak ada tuhan selain aku maka sembahlah aku”.
Ungkapan-ungkapan Abu Yazid tentang Ittihad terlukis dalam kata-katanya berikut ini: ”aku tidak heran terhadap cintaku kepadamu, karena aku hanyalah seorang hamba yang hina dina. Tetapi aku heran terhadap cintamu kepadaku, karena engkau adalah maha raja yang maha kuasa”. ”aku tidak mendambakan dari Allah kecuali hanya Allah”. ”manusia bertobat dari dosa mereka, tetapi aku bertobat dari ucapanku”.tidak ada tuhan selain allah karena dalam hal ini aku memakai ungkapan alat dan huruf, sedangkan tuhan tidak dapat digapai dan dijangkau dengan alat dan huruf”, pada suatu ketika aku dinaikan kehadirat tuhanku dan Dia berkata ”Abu Yazid, makhluk-makhlukku ingin melihatmu”. Aku menjawab ” kekasihku aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi itu kehendakmu, hiasilah aku dengan keesanmu sehingga jika makhluk mu melihat aku mereka akan berkata : telah aku lihat engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya engkau, karena pada saat itu aku tidak ada disana. Abu yazid juga pernah mengatakan tuahanku berfirman semua mereka, adalah makhlukku, aku adalah engkau, engkau adalah aku, dan aku adalah engkau”.
Cerita lain tentang Abu yazid. Dia pernah ditanya tentang umurnya, dia menjelaskan bahwa umurnya ’empat tahun’. Si penanya kaget lalu balik bertanya ‘bagaimana hal itu bisa terjadi? Abu yazid mengatakan lebih lanjut : “aku terlindung dengan tabir pemisah antara aku dengan tuhanku oleh tabir dunia selama tujuh puluh tahun dan aku baru dapat melihatnya selama empat tahun terakhir ini’.

B. Pemikiran Abu Yazid al-Bustami tentang Fana’ Baqa dan Ittihad.
Menurut Abu Yazid, manusia pada hakikatnya seesensi dengan Allah dapat bersatu dengan-Nya apabila dia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya), sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ an nafs), adalah hilangnya kesadaaran kemanusiaanya dan menyatu kepada irodah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
Al-fana’ dalam pengertian menurut al-Qusyairi’

فناءه عن نفسه وعن الخلق بزوال احساسحه بنفسه وبهم فنفسه موجودة والخلق موجود ولكن لاعلم له بهم ولابه

“Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…sebenarnya dirinya tetap ada, dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.

Dari pengertian ini terlihat bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan atau kepekaan menangkap yang bersifat materi atau indrawi sedangkan materi atau jasad manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana’ dalam pengertian tersebut diatas, maka pada saat itu maka ia telah dapat menyatu dengan tuhan sehingga wujudihanya kekal atau baqa’. Didalam perpaduan itu ia menemukan hakikat-hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari nur ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang maha esa. barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyahnya, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insane, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan yang tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut Tajrid fana attauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantari suatu apapun.
Dalam kenyataanya, al-Bustami begitu didominasi dengan keadaan. Karena itu banyak ungkapkan yang diriwyatkan berasal dari dia, seperti : ”makhluk mempunyai berbagai keadaan, tetapi seorang arif tidak mempunyai keadaan, sebab ia mengabaikan aturan-aturannya sendiri, identitasnya sirna pada identitas lainnya dan bekas-bekasnya gaib pada bekas-bekas lainnya”. Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arief kepada Allah, sehingga ia tidak menyaksikan selainnya. Seorang Arief, menurut Abu Yazid al-Bustami ’ dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan jaganya pun tidak melihat selain Allah, dia tidak seiring dengan selain Allah dan tidak menelaaah selain Allah.
Dalam Fana’ menurut Abu Yazid terkandung pula fana’nya kehendak, dituturkan bahwa dia ”ingin tidak berkinginan. Dalam urainnya tentang ungkapan ini ibnu attohillah : ” ketahuilah! Sebagian orang berkata bahwa Abu Yazid ingin tidak berkinginan, karena Allah mengingininya. semua orang sepakat bahwa ia tidak mempunyai keinginan bersamanya, dia tidak menginginkan apapun dan tidak mengingininya. Dalam kehendaknya dia tidak ingin seiring dengan kehendak Allah.
Tapi ciri yang mendominasi kefana’an Abu Yazid adalah sirnanya kepada segala sesuatu yang selain allah dari pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia, yang disaksikannya. Inilah yang diungkapkannya dengan ”pengabaian aturan-aturannya sendiri, kefana’an identitas, dan kegaiban bekas”.dan pada keadaan inilah terjadinya penyatuan dengan yang maha benar. Pernyataan ini tersirat dalam ucapannya.”akupun keluar dari yang maha benar menuju kemaha benar dan akupun berseru.duh engkau yang aku! Telah kuraih kini peringkat kefana’an. Dan katanya pula ” sejak 30 tahun yang silam yang maha besar adalah cermin diriku, sbab kini aku tidak berasal dari diriku yang terdahulu ucapanku ’aku dan yang maha benar’ adalah pengingkaran terhadap penyatuan dengan yang maha benar, sebab aku ini tidaklah ada, dan yang maha benar adalah cermin darinya. Bahkan lihatlah ! yang maha benar adalah cermin diriku. Sebab, dia yang berbicara dengan ucapanku, sementara aku ini telah fana’.
Ungkapan Abu Yazid tentang kefana’anya dan penyatuanya dengan kekasihnya memang terlalu berlebih-lebihan, antara lain bagaimana ucpannya yang ganjil : ”aku ini Allah, tidak ada tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku”. Katanya pula : ”betapa sucinya aku, betapa besarnya aku”. Dan katanya : aku keluar dari abu yazidku seperti halnya keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pencipta, yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu”. Suatu ketika abu yazid ditanya : ”apa ’arsy’ itu?”jawabannya : ”akulah Qursy itu”. Dan akhirnya dia ditanya: ”apa lauhmahfudz dan Qalam itu?”jawabanya: ”akulah keduanya”.
Masalah ungkapan yang ganjil ini telah dikaji secara mendalam oleh louis massignon. Menurutnya, ungkapan itu muncul pada seorang sufi dalam bentuk orang pertama diluar sadarnya. Hal ini berarti bahwa dia telah fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam dzat yang maha benar, sehingga dia mengeluarkan kata-kata dengan kalam yang maha benar dan bukan ucapannya sendiri. Ungkapan-ungkapan yang diucapkan seorang sufi dalam kondisi begini tidak dia ucapkan dalam kondisi normal. Sebab ucapan demikian, dalam keadaan normal, justru akan ditolak sendiri oleh orang yang mengucapkannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana’ dan baqa’ ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan tuhan, sehingga yang disadarinya hanya tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh tuhan. Fana’ merupakan keadaaan seseorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembataan atau maqam menuju ittihad( penyatuan rohaniah dengan tuhan).
Berbicara fana’ dan baqa’ ini erat hubungannya al-Ittihad, yakni penyatuan batin rohaniah dengan tuhan, karena tujuan dari fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zuhri yang mengatakan bahwa fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan membicarakan dengan paham ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode Tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang terpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
Dalam situasi ijtihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka, dapat memanggil yang satu dengan kata-kata : ”Hai aku”. Dalam teks arabnya kata-kata tersebut berbunyi :


قيقو ل الواحد للاخر ياانا

Maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan “aku”

Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya maha suci aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana’ dan baqa’.

C. Fana’ Baqa’ dan ittihad dalam pandangan al-Qur’an
Paham fana’dan baqa’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqo’ ar robi’ menemui Tuhan. Fana’ dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi :

فمن كان يرجوا لقاءربه فليعمل عملا اصاالحا ولا يشرك بعبادة ربه احدا [الكهف:.اا]

Barang siapa yang mengarapkan perjumpaan dengan tuhannya maka hendaklah yang mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepadaNya. (Q.S.Al-kahfi110).

Faham ittihad ini juga dapat difahami dari keadaan ketika nabi isa ingin melihat Allah. Musa berkata : ”ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepadamu”. Tuhan berfirman : tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah dan bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana’ dan baqa’ adanya konsep fana’ dan baqa ini dapat difahami dari isyarat yang terdapat dalam ayat sebagai berikut :


كل من عليها فان ويبقي وجه ربك زوالجلال والاكرام [الر حمن:]

Semua yang ada dibumi ini akan binasa, yang tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Q.S. Al-Rahman.55:26-27).

D. Ajaran yang Kompetebel bagi Kekinian dan Penerapannya.
Setelah kita mengetahui bahwsannya ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid, yaitu fana’ yang dimaksud dengan yang menghancurkan segala keburukan yang ada didalam rohani dan jasmani dan baqo’ ban bersatu dengan Allah ini adalah salah satu ajaran bahwasannya apabila kita menginginkan mahabahnya Allah berarti kita harus menghilangkan sifat-sifat yang ada didiri dan dalam hati kita, sehingga kita akan selalu merasakan keahdiran Allah di dalam hati kita (kebersamaan dengan Allah) dalam segala aktifitas yang kita lakukan.
Salah satu menghilangkan segala keburukan dalam diri kita yaitu yang bertaubat kepada Allah, Allah akan membukakan hati kita, Allah juga membukakan pintu dan menunjukan jalanNya untuk mendapatkan mahabbah maupun ma’rif’at Allah.
Kita sebagai manusia bisa mencapai ittihad seperti ajaran yang dibawakan oleh Abu Yazid al-Bustami yaitu dengan syarat melaksanakan fana’ dan mendapatkan baqa’.








Kesimpulan

Dari pembahasan yang diatas, ada beberapa poin yang perlu dijadikan kesimpulan, yaitu :
1. Abu Yazid al-bustami adalah Abu Yazid Tahifur bin Isa Surusyan al-Bustami, lahir didaerah bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur.
2. Pokok-Pokok Ajaran Tasawufnya adalah :
a. Fana berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
b. Baqa berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarakan istialah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
c. Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’.

Daftar Pustaka

Atiqul Haque M,100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, DIGLOSSIA, Jogjakarta : 2007
Dr.H.Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi-Tauladan Kehidupan Yang Saleh, PT.Raja Grafindo, Jakarta : 2001
Dr.Abudinata, Akhlak Tasawuf, PT.Raja Grafindo, Jakarta : 2006

DZUNNUN AL-MISHRY : MA’RIFAT

DZUNNUN AL-MISHRY : MA’RIFAT

A. Pendahuluan
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
B. Dzunun Al-Mishry dan Konsep Ma’rifatnya
Dzunun Al-mishry adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat dalam ajaran tasawufnya. Nama lengkapnya Abu al-faid Sauban bin Ibrahim al-Mishry, Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M. Nama Dzunun diambil karena suatu ketika Dzunun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga, dan Dzunun dituduh mencurinya. Karena itu ia disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya , ia mengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang MAha Tahu”. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulur masing-masing. Ia lalu mengambil sebuah permatadan menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari “Dzunun” artinya “yang empunya ikan nun”.
Walaupun sebelumnya paham ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun dzununlah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam taasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa dunun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon , dan antiochia. Di samping seorang sufi, ia ahli filsafat, kimia, dan tulisan hieroglif atau tulisan dan abjad mesir kuno.
Dzunun al-Mishry hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadist, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti mengajian Ahmad bin Hanbal, ia mengambil hadist dari malik, al-Laits dan lain-lainnya. Guru nya dalam bidang tasawauf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfail al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzunun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Mishry hidup pada masaawal pertumbuhan ilmu tasawuf.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib Ahl at-Tasawuf pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf, Dzunun telah sampai pada tingkat ma’rifat, yaitu tingkat tertinggi dalam tasawuf setelah melewatu taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal ridha, dan cinta atau mahabbah. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzunun ditanya tentang bagaiman ma’rifat itu diperoleh. Ia menjawa “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” yang artinya: Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan. Kata Abu Qasim Abdul KArim al-Qusyairi, Dzunun mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahnya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifat tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Karena ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Dzunun membagi ma’rifat kedalam tiga tingkatan, yakni
1) Tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syhadat
2) Tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal, dan
3) Tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.

Pengetahuan orang awam tentang Tuhan padad asarnya adalah pengetahuaan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika, sedangkan pengethuan ulama mementingkan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu, bukan ma’rifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk ma’rifat menurut Dzunun adalah pengetahuan tentang Tuhan di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan beribadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Dalam keadaan demikian, seorang sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Berikut ini beberapa pandangan Dzunun al-Mishry tentang hakikat ma’rifat:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.
2. Ma’rifat yang sebenarnya bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari,tidak dapat dilihat kecuali dengan cahnya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehungga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, merka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat engan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzunun diatas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Selain ma’rifat, Dzunun jaga mengungkapkan pengalamannya mengenai khauf atau rasa takut akan murka Allah SWT. Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khauf-nya. Dalam syairnya ia mengatakan “Al-khauf rakib al-‘amal wa al-raja’ syafi’ al-muhif’”, yang artinya takut itu penjaga amal sedangkan harap adalah penolong bencana.
Pengalamannya dalam mahabbah terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai tuhanku atau Ya Illahi’, tetapi manakal aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku atau Ya habibi’.” Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Dzunun lebih takut berpisah dari Tuhan sang kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya pada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Dzunun ditanya ttentang mahabbah, ia menjawab, “Mahabbah adalah mencintai ssegala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan, mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan, tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal”.
Setelah ma’rifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Dzunu mengatakan bahwa ma’rifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral, yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan akhlak Allah SWT. Dalam hubungan ini,pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah SWT. Menurut Dzunun ada tiga tanda orang arif, yaiut:
1) Cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya,
2) Tidak mengukuhi secara bathiniah ilmu yang bertentangan dengan hokum lahiriah, dan
3) Nikmat Allah SWT yang banyak tidak mengiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah SWt.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi yakni akhlak illahiah.
Paham ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzunun Al-Mishry itu diterima oleh al-Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlusunah waljamaah karena al-Ghazali adalah salah satu figure yang sangat berpengaruh di kalangan mereka.dengan demikian, al-Ghazali lah yang membuat tasawuf menurut pola piker tersebut menjadi halal bagi kaum syari’at. Penerimaan al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya ma’rifat dapat difahami dari pendapatnya. Menurut al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Bagi al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indera dan akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf atau ma’rifat dan bukan falsafah.