Sabtu, 12 Desember 2009

Mutiara Hikmah

Mutiara Hikmah

Hari ini sebelum kita mengatakan kata-kata yang tidak baik,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berkata-kata sama sekali.

Sebelum kita mengeluh tentang rasa dari makanan,
Fikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,
Fikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

Sebelum kita mengeluh bahwa kita buruk,
Fikirkan tentang seseorang yang berada pada keadaan yang terburuk di dalam hidupnya.

Sebelum mengeluh tentang suami atau isteri anda,
Fikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidupnya.

Hari ini sebelum kita mengeluh tentang hidup,
Fikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.

Sebelum kita mengeluh tentang anak-anak kita,
Fikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.

Sebelum kita mengeluh tentang rumah yang kotor kerana pembantu tidak mengerjakan tugasnya,
Fikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan.

Dan di saat kita letih dan mengeluh tentang pekerjaan,
Fikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti kita.

Sebelum kita menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
Ingatlah bahawa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.

Dan ketika kita sedang bersedih dan hidup dalam kesusahan,
Tersenyum dan berterima kasihlah kepada Allah bahwa kita masih hidup !

Note :
Jalani hidup dengan bijak, dan sikapi segala permasalahan yang dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tenang.

Al-Hikam

AL-HIKAM

Waktu
Sebaik-baik waktumu adalah kapan engkau menyadari kekurangan dan kerendahan mu.
Al-Hikam

Ikhlas
Kuburlah dirimu kedalam bumi yang dalam, karena bijian yang tidak ditanam dalam tanah tidak akan sempurna hasilnya. -Al Hikam

Tawakkal
Istirahatka dirimu dari mengatur urusanmu, karena segala yang diurus untukmu oleh “Selainmu”, tak perlu engkau turut mengurusnya. Al Hikam — Allah lah yang mengurus segala urusan dan kebutuhan kita, tugas kita adalah beribadah dengan baik dan sopan, serta dengan keyakinan dan khusnudhan [baik sangka]. Wallahu A’lam

Kesopanan

Kesungguhanmu mengupayakan apa yang telah dijamin untukmu dan kelailan mu mengerjakan apa yang dituntut darimu, adalah pertanda rabunya penglihatan mata batinmu.

Alim & Ma’rifat
‘Tidak ada orang yang mencintai khusus kepada ALLAH kecuali yang mengenal NYA’

Zuhud
Yahya Ibn Muaz al-Rozi berkata:
1. Jujur adalah makanan pokoknya orang zuhud
2. Pakaianya adalah apa yang menutupi auratnya
3. Tempat tinggalnya dimana ia berada
4. Dunia itu penjaranya
5. Kubur itu tempat berbaringnya
6. Tempat yang sepi itu tempat duduknya
7. Mengambil i’tibar itu berfikirnya
8. Al Quran itu pembicaraanya
9. Allah itu pembicaraanya
10. Berdzikir kepada Allah itu kawannya

Nikmat dan Kebutuhan
Ada 2 nikmat yang pasti ada pada semua makluk yaitu nikmat penciptaan dan nikmat pemenuhan kebutuhan.

Penolakan dan Pemberian
Ketika Allah membukakan pintu pengertian (pemahaman) bagimu tentang penolakannNYA, maka penolakan itupun menjadi pemberian

Kamis, 03 Desember 2009

Rekor Masuk Neraka

Rekor Masuk Neraka
Oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)

Andaikan makhluk yang bernama “fatwa” sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa ‘bergaul’ dengannya, sehingga tidak mudah ‘uring-uringan’ seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya di awal 1900-an kaum Ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardlu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya). Sumpah Pemuda itu fardlu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya.

Berikutnya begitu Hiroshima-Nagasaki dibom atom, Ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib, sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945. Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: Demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada Komunisme itu haram). Tidak mentaati UUD-45 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya.

Katakanlah sejak pra Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majlis Ulama Indonesia sudah menelorkan lebih dari 5000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara Negara dengan Agama. Kita istirahat tak usah bergunjing Ulama itu sejajar dengan Umara (Pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum Ulama dibanding undang-undang dan hukum Negara. Entah apapun namanya makhluk Indonesia ini: Negara sekular, demokrasi religious, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis, atau apapun.

Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum Ulama, khususnya Majlis Ulama Indonesia, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebutlah Ulama adalah partner Pemerintah. Kaum Ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai Khalifatullah fi ardli Indonesia. Dan kita semua bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan. Dulu para Rasul dengan mandat risalah, para Nabi dengan mandat nubuwwah, dan para Ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum Ulama dalam Majlisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar. Ada Ulama Pertanian, Ulama Ekologi, Ulama Perekonomian, Ulama Kehutanan, Ulama Kesehatan dan Kedokteran, Ulama, Ulama Kesenian dan Kebudayaan, Ulama Fiqih, Ulama Tasawuf dan Spiritualisme, Ulama Olahraga, dan segala bidang apapun saja yang ummat manusia mengaktivinya – karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol, dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang Golput, tanpa pernah ada fatwa tentang Pemilu, Pilkada, Pilpress dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat ‘canggih’. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok, tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman, penggusuran, pembangunan Mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan, serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita. MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks.

Itupun fatwa membatasi diri pada ‘benda’. Makan ayam goreng halal atau haram? “Dak tamtoh“, kata orang Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram. Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goring secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunnah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa. Sunnah karena ia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa.

Beli sebotol air untuk kita minum, halam haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kedhaliman sosial atau tidak. Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah swt. Berdzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajib shalat dan berdzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keras-keras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan


Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa, karena ada jarak serius antara fatwa dengan Agama, apalagi antara fatwa dengan Negara dan hukumnya. Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, men-sunnah-kan, me-mubah-kan, me-makruh-kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang “rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat. Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan methodologis dan syar’i, berhak menelorkan pendapatnya masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apapun. Muhammadiyah dan NU-pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para Ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, seseksama mungkin. Dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail. Kemudian andaikanpun persyaratan itu mampu saya penuhi, maka saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapapun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sejalan dengan pandangan saya. Sedangkan Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapapun melakukan shalat: hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekedar menyampaikan dan memelihara kemashlahatannya.

Para Ulama dan kita semua bisa kelak teruji ternyata sepandapat dengan Tuhan, bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: “Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”, kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu. Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan.

Mungkin benar rokok itu haram, dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka perokok yang jauh lebih berat disbanding saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari.

Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.

Al-Junaid al-Baghdadi

Al-Junaid al-Baghdâdî


Biografi al-Junaid al-Baghdâdî
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qâsim al-Junayd ibn Muhammad aibn Junayd al-Baghdâdî. Ia kemudian lebih popular dengan panggilan al-Junayd al-Baghdâdî, dan terkadang juga dipanggil al-Junayd saja. Ia merupakan tokoh sufi yang besar pengaruhnya di Baghdad. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia. Meskipun ia lahir di Nihawand, kelauarganya bermukim di kota Baghdad, tempat ia belajar hokum Islam menurut mazhab Imam Syafi’i, dan akhirnya ia menjadi qâdî di Baghdad. Walaupun demikian, kemudian ia menganut mazhab Abu Tsawr.
Sejak kecil Junayd sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junayd mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?”, Tanya Junayd kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya”, ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah”.
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia akan mau menerimanya”, Junayd berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junayd ke rumah pamannya. Sampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?”, terdengar sahutan dari dalam.
“Junayd”, jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini”.
“Aku tidak mau menerimanya”, Sari menyahut.
“demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini”, Junyd berseru.
“Junayd, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu”, jawab junayd, “Karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela atau tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya”.
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu”.
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk junayd disediakannya tempat khusus di dalam lubuk hatinya.
Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqatî (w. 253 H/ 867 M), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar kepada al- Saqatî, ia berguru kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basrî al- Baghdâdî al-Muhâsibî (160 H-243H/ 781-857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu. Al-Junayd al-Baghdâdî, bahkan dipandang sebagai murid terdekat dan paling banyak mendapatkan ilmu dari al- Muhâsibî tersebut.
Sejakk kecil, al-junayd terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, al-Junayd telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“kemukakan pula pendapatmu”, Sari mendorong Junayd. Maka berkatalah junayd,.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”.
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati”, keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junayd itulah yang paling tepat.
Kehidupan al-Junayd al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junayd al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah.
Di samping itu, al-Junayd memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Pada akhir perjalanan hidupnya, ia diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandangan Sa’îd Hawwâ, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa tokoh sufi yang dapat diterima oleh umat Islam, salah satunya al-junayd al-Baghdâdî, di samping tokoh-tokoh lain seperti al-Ghazâlî (w. 505 H/ 1111 M). al-junayd meninggal dunia pada jumat, 298 /910 M dan dimakamkan di dekat makan pamannya sekaligus gurunya, Sari al-Saqatî, di Baghdad.

Junayd Diuji
Selama empat puluh tahun Junayd manekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai salat isya’ ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan salat subuh tanpa perlu berwudhu’ lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu”, Junayd berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku: ‘Junayd telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh: ‘Ya Allah, dosa apakah yang telah dilakukan Junayd?’ Suara itu menjawab: ‘Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar dari pada itu?”
Junayd mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apbila manusia belum patut untuk menemui Tuhannya”, bisik Junayd, “maka segala amal baiknya adalah dosa semata”.
Junayd lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junayd bila kita tak mempunyai bukti”, jawab khalifah.
Kebetulan sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pergilah ke tempat Junayd”, khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junayd: ‘Aku kaya raya tetapi aku sudah jemu dengan urusan-urusan dunia. Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersama dirimu aku bisa mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu”.
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Junayd. Si gadis menemui Junayd dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junayd. Junayd membisu dan tak memberi jawaban, si gadis mengulangi daya upayanya dan Junayd yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!”, serunya sambil meniupkan nafasnya kea rah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohon ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya”, khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia mengunjungi Junayd. “Manusia seperti junayd tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya”, ia berkata.
Setelah bertemu dengan junayd khalifah bertaya:
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?”
“Wahai pangeran kaum Muslim”, Junayd menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angina. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apbila engkau sendiri tidak menginginkannya!”
Stelah peristiw itu nama Junayd jadi harum. Kemasyhuran terdengar ke seluruh penjuru dunia. Betapun besarnya fitnah yang dilontarkan kepada dirnya, reputasinya berlipat ganda seribukali.

Ajaran Tasawuf Junayd al-Baghdâdî
Dalam masa-masa hidupnya, Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci.
Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Junayd merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan. Bagi Junayd, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”.
Al-Junayd memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Junayd.
Paham dan amalan tasawuf Junayd ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya. Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Junayd, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”.
Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Junayd.
Al-Junayd terkenal sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya. Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah kemudian ia pernah mengatakan, “Apabila saya telah mengetahui sesuatu ilmu yang ternyata lebih besar dari pada tasawuf, tentulah saya pergi untuk mencarinya, sekalipun harus dengan cara merangkak.”
Al-Junayd memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.”
Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan al-Junayd yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam mengingat dia.”
Al-Junayd al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah.
Di kalangan para sufi, bast dan qabd merpakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan al-Junayd sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.”
Al-Junayd al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Ketika cinta sufi telah menggelora di dalam kalbunya, maka segala bentuk ibadah yang dilakukannya berupa salat, zikir, munajat, dan sebagainya dirasakannya sebagai suatu kenikamatan yang mendalam. Di dalam lubuk hatinya senantiasa ada kerinduan untuk terus bersama Allah, terlintas di dalam hatinya kecemasan, apakah Tuhan yang dicintainya telah membalas cintanya. Dari perasaan cinta yang sangat dalam ini sering terekspresi ungkapan-ungkapan puitis, yang kemudian terkenal dengan sastra sufi.
Selanjutnya al-Junayd dikenal sebagai tokoh sufi yang memiliki pemikiran tentang ma’rifah. Pemikiran ma’rifah yang diajarkan oleh al-Junayd banyak dikutip oleh tokoh-tokoh sufi selanjutnya. Dalam hal ini, Abu Bakr al-Kalâbadzî (w. 380 H/ 990 M) mengungkapkan bahwa al-Junayd berpendapat tentang ma’rifat sebagai berikut: “Ma’rifah itu ada dua macam, yaitu: ma’rifah ta’arruf dan ma’rifah ta’rif. Ma’rifah ta’arruf adalah bahwa Allah memberitahukan kepada orang banyak akn diri-Nya dan meberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai-Nya, seperti perkataan Nabi Ibrahim, ‘Saya tidak menyukai barang sesuatu yang terbenam.’ Adapun arti ma’rifah ta’rif adalah Allah memberi tahu orang banyak bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia, kamudian secara halus terjadilah kejadian benda-benda menunjukkan kepada orang bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Sedang pengetahuan model pertama tentang Allah adalah pengetahuan orang-orang khawas (para sufi). Semua oang tidak bisa ma’rifah terhadap hakikat Allah kecuali karena Allah sendiri”.
Berkenaan dengan ma’rifah ini, al-Junayd juga pernah mengungkapkan pandangannya secara tegas, seperti dikutip Abu Bakr al-Kalâbadzî, “Berkata Junayd, ‘Ma’rifah adalah wujud kebodohanmu ketika adanya pengetahuan. Dikatakan orang, tambahlah keterangan. Ia berkata, Allah itu al-Arif dan juga al-Ma’ruf.’ Artinya bahwa engkau, dari sudut pandanganmu, tidak mengetahu Allah SWT. Anda mengetahui-Nya dari sudut pandang Dia.”
Dalam pandangan al-Junayd, bahwa ma’rifah akan didapat sorang sufi melalui maqâmât dan ahwâl. Dalam persoalan maqâmât dan ahwâl tersebut, al-Junayd sebagaimana dikutip Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, dalam kitab al-Luma’ mengatakan, “Tidak akan sampai seseorang hamba kepada hakikat ma’rifah dan kemurnian tauhid, sehingga ia melalui ahwâl dan maqâmât”.
Selain tentang ma’rifah, al-Junayd juga mempunyai pemikiran tentang tawakal dan tasawuf. Dalam hal ini, suatu kesempatan, ia pernah ditanya tentang makna tawakal. Jawabannya singkat, sebagaimana dikutip oleh Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî dalam kitab al-Luma’. Menurut al-Junayd, bahwa yang dimaksud dengan tawakal adalah berpegang teguhnya hati kepada Allah SWT.
Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junayd tentang tasawuf adalah sebaggai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesame (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa al-Junayd pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junayd, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinyu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka al-junayd seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hokum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertsawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada.

Anekdot-anekdot Mengenai Diri Junayd
Pada suatu ketika mata Junayd sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu”, si tabib menasihatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Junayd bersuci, salat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan: “Junayd bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohonkan ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan kami kabulkan”.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Junayd telah sembuh,
“Apakah yang telah kau lakukan?”, ia bertanya.
“Aku bersuci untuk salat”, jawab Junayd.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya”, katanya kepada Junayd, “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku”.

Junayd Meninggal Dunia
Beberapa orang muridnya yang besar-besar dan terkenal pula dalam alam tasawuf, sebagai Abu Bakar al-Aththar, Abu Muhammad al-Jurairi, Abu Bakar al-‘Athawi, menceritakan bagaimana indahnya beliau ketika akan meninggal dunia.
Beliau masih tetap mengerjakan salat sunnat di samping yang fardhu, walaupun beliau sudah tidak dapat bangun lagi. Melihat itu, murid-muridnya berkata: ‘Apakah artinya ini wahai Abal Qasim? Tuan guru telah terlalu memberat-berati badan, padahal dalam menghadapi maut”. Lalu beliau menjawab: “Di saat sepert inilah yang amat indah mengerjakan ibadah.”
Sementara masih kuat berdiri, beliau berdiri. Setelah tak kuasa lagi, beliau pun duduk. Tak kuasa lagi duduk, beliau pun berbaring, tetapi tidak pernah berhenti mengerjakan sembahyangnya.
Muhammad al-Jurairi berkata: “Hari wafat beliau itu adalah hari Jum’at. Pagi-pagi saya datang, saya dapati beliau sedang membaca Alquran. Lalu saya berkata: Kasihanilah diri tuan, tuan sudah terlalu payah”. Lalu beliau jawab: “Siapakah yang lebih pantas dari pada aku berbauat begini di saat yang seperti aku hadapi ini. Padalhal shafat hidupku sudah hendak ditutup?” Kata al-‘Athawy: “Tidaklah berhenti beliau dalam sakit itu di antara sembahyang dengan membaca Alquran. Bila telah tammat beliau uulang kembali. Demikianlah seterusnya, sehingga tatkala dia menarik nafas penghabisan, telah dibacanya 70 ayat dari surat Al-Baqarah”.
Beliau meninggal di tahun 297 H. (910 M).


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Al-Attar Fariduddin. Warisan Para Auliya. Penterjemah, Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1983.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008.
HAMKA. Tasawuf, perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.

Tersenyumlah

TERSENYUMLAH


Jika kamu gundah gulana, diselimuti rasa resah dan sedih, maka tersenyumlah, barangkali dengan demikian dosa-dosa kamu terampuni.
Jika kamu merasa sebagai orang yang miskin dan merasakan pedihnya lilitan kebutuhan, maka tersenyumlah, barangkali kemiskinan ini labih baik bagi kamu. Barangkali kemiskinan ini justru menghindarkan kamu dari kesombongan atas kekayaan, kemewahan, dan dari fitnah dunia.

Jika kamu sakit dan hanya bisa berbaring di atas kasur, serta hanya ditemani ranjang putih, maka tersenyumlah, karena sakit merupakan sarana penyucian bagi kesalahan-kesalahanmu, obat bagi hati kamu, dan saat yang terbaik bagi kamu untuk kembali kepada Tuhan.

Jika kamu dizalimi oleh seseorang dan dihina oleh orang yang zalim, maka tersenyumlah, karena kamu adalah orang yang dizalimi bukan yang menzalimi. Pujilah Allah, sebab dia telah melindungi kamu dengan tidak memposisikan kamu sebagai orang yang berbuat zalim tapi pada posisi kamu sendiri, yaitu orang yang dizalimi.
Jika kamu kehilangan anakmuu, juga belahan hatimu, maka tersenyumlah, karena anak kamu akan memberi syafaat kepadamu dan melayanimu di telaga surgawi kelak. Dia telah pergi seiring dengan sirnanya kegelisahan yang menimpanya, sementara pahala dan balasannya akan tetap abadi untuk selamanya.

Jika kamu dipenjara secara paksa dan kamu ditempatkan di dalam sel sendirian, maka tersenyumlah, barangkali Allah swt menghendaki kamu berada di sel tahanan untuk menghindarkan kamu dari kemaksiatan, menyelamatkan kamu dai bencana, dan melindungi kamu dari kebinasaan. Jadi,tersenyumlah selalu.

Diambil dari kitab Ha Kadza Haddatsana Az-Zaman (Beginilah Waktu Mengajari Kita) karangan Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny

Reformasi Moral

Reformasi Moral
Oleh Ansori*

“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah mukmin yang paling baik moralnya” (HR Abu Daud).
Salah satu aspek yang paling diperhatikan Alquran untuk dibenahi dan diperbaiki adalah moralitas manusia. Sungguh, saking besar perhatian Alquran terhadap aspek ini, sampai-sampai Alquran menegaskan dirinya sebagai kitab aturan moral, atau setidaknya menjadi sumber rujukan paling utama mengenainya.
Moral, atau biasa disebut dengan akhlak, memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan penopang utama pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Kesalahan atau kehancuran suatu masyarakat mana pun sanagat bergantung pada kebaikan atau keburukan moralnya.
Setiap anggota masyarakat mampu hidup saling berdampingan, memahami satu sama lain, tolong-manolong, dan mengecap kebahagiaan, selama tidak terikat dengan nilai-nilai moral yang agung.
Kemuliaan moral merupakan tuntunan sosial. Artinya, ketika moral yang mulia telah lenyap, yang pada hakikatnya merupakan sarana untuk menciptakan keharmonisan antara sesama manusia niscaya seluruh anggota masyarakat akan saling berselisih, untuk kemudian terjerembab ke lembah kehancuran dan kemusnahan.
Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu tidak lain disebabkan oleh lenyapnya unsur moral yang baik. Alquran menunjukkan hal ini melalui firman-Nya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami). Kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Alisra’ [17]: 16).
Nilai penting moral juga berdampak pada perilaku individu manusia segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Barangkali dapat dikatakan bahwa perilaku manusia senantiasa selaras dengan watak yang tertanam dalam jiwa. Dalam hal ini imam al-Ghazali mengatakan, “sesungguhnya semua sifat tertanam dalam lubuk hati. Namun pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak berangkat melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya.
Kemudian, Menurut intelektual Muslim terkemuka, Abdul Karim Zaidan, langkah yang seyogianya ditempuh para pembaharu dalam upaya membenahi dan memperbaiki kehidupan dan perilaku manusia, adalah membangun dan menyucikan jiwa serta menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji.

*Tulisan ini pernah dimuat di kolom hikmah harian umm REPUBLIKA Rabu 1 April 2009