Kamis, 19 Februari 2009

AGAMA DAN PEMBANGUNAN

A Pendahuluan
Pada abad modern ini timbul suatu kesadaran bahwa perubahan ekonomi sangat erat hubungannya dengan sejarah pertumbuhan agama. Umat manusia dewasa ini sedang dalam transformasi yang melibatkan kita semua kedalam dan keluar, masalah keperluan fisik maupun keperluan agama. Salah satu masalah yang penting dalam pembangunan ini adalah kesadaran kita untuk memilih sesuatu perbuatan yang berguna untuk pembangunan nasional dalam megisi kemerdekaan bangsa dan negara. Agar dalam pelaksanaan pembangunan itu, pelaksanaannya tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada, maka kita harus meletakkan landasan pertama pada masalah moral
Agama disini bukan saja sebagai faktor pendorong yang mampu memberikan semangat bagi umatnya untuk bekerja guna membangun dunia, tetapi juga mampu mengadakan pembaharuan serta penyempurnaan untuk mempersatukan pendapat perorangan maupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan hidup duniawi maupun surgawi secara berkesinambungan. Disamping itu agama juga sebagai penyucian perbuatan manusia untuk meningkatkan prestasi serta merupakan sumber inspirasi budaya baik fisik maupun non fisik yang bernafaskan keagamaan

B Pembahasan

1. Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
(1) Sebagai etos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini atau dihayati mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya, nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoaman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya, selalu giat dalam menerapakn perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak.
Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis. Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain.
(2) Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat.
Peranan-peranan positif ini telah telah mebuahkan hasil yang konkrit dalam pembangunan, baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.
Melalui motiasi keagaaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan asset yang potensial dalam pembangunan.[1]


2. Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:[2]
(1) Berfungsi edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua undur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
(2) Berfungsi penyelamat
Dimanapun manusia berada dia selalu menginginkan dirinya selamat.
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dinia dan akhirat.
(3) Berfungsi sebagai pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui : tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
(4) Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun secara kelompok, ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok, karena:
Ø Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.
Ø Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (kenabian)
(5) Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akanmembina solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.
(6) Berfungsi transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaanya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
(7) Berfungsi jreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
(8) Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

4. Ketaatan Beragama
Ketaatan beragama membawa dampak positif terhadap pembangunan, karena pengalaman, membuktikan bahwa semakin taat seseorang dalam beragama semakin positif sikapnya terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Karena setiap agama mengandung ajaran yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat.[3]
Ketaatan beragama selain dipengaruhi oleh factor kepribadian juga dipengaruhi oleh berbagai factor termasuk stratifikasi social (kedudukan dalam masyarkat).
Untuk jelasnya dapat diperincikan sebagai berikut:[4]
(1) Faktor Psikologis: kepribadian dan kondisi mental
(2) Faktor umur: anak-anak, remaja, dewasa, dan tua
(3) Faktor kelamin: laki-laki dan wanita
(4) Faktor pendidikan: orang awam, pendidikan menengah, dan intelektual
(5) Faktor stratifikasi social: petani, buruh, karyawan, pedagang, dan sebagainya.

5. Sikap Keagamaan
Psikologi memandang bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menimbulkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata, sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup. Jadi, motif menjadi faktor penjalin sekaligus menentukan hubungan antara sikap dan tingkah laku. Motiflah yang menjadi tenaga pendorong kearah sikap positif atau negatif yang hal itu kemudian tampak dalam tingkah laku nyata. Motif yang didasari pertimbangan-pertimbangan tertentu biasanya menjadi lebih stabil jika diperkuat dengan komponen afeksi. Dalam hubungan ini tergambar bagaimana jalinan pembentukan sikap keagamaan sehingga dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Psikologi agama melihat bahwa ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam kehidupan nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi di atas, baik secara individual maupun kolektif. Perubahan sikap keagamaan memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang beragam dan bergerak antara titik positif hingga negatif. Jadi, sikap keagamaan yang menyimpang dalam kaitan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi negatif sehingga gerakan pembaharuan keagamaan yang berusaha merombak tradisi keagamaan yang keliru juga masih dapat dimasukkan dalam kategori ini.[5]
Sikap keagamaan merupakan suatau keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama.
Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.[6]
Menurut Siti Partini pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua factor yaitu:[7]
(1) Faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang dari luar, termasuk di sini minat dan perhatian.
(2) Faktor eksternal, berupa factor di luar diri individu yaitu pengaruh lingkungan dan diterima.
Dengan demikian walupun sikap keagamaan bukanmerupakan bawaan akan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh factor internal dan factor eksternal individu.
Pembentukan sikap keagamaan ini sangat erat kaitannya dengan pembangunan. Sikap fanatis, sikap toleran, sikap pasimis, sikap aptimis, sikap tradisional, sikap modern,sikap fatalisme dan sikap free will dalam beragam banyak menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat.

C Kesimpulan
Maka dapatlah kami simpulkan bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam pembangunan, karena agama tidak hanya sebagai pengerem dalam arti sekedar pembinaan kesusilaan semata, tetapi juga sebagai pengarahan dan pendorong umatnya untuk berperan aktif bersama-sama dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negara dalam mengisi kemerdekaan ini untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yakni pembangunan disegala bidang termasuk pembangunan manusia demi tercapainya kehidupan masyarakat yang tentram, damai, adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKA

Djalaluddin, Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia: Jakarta, 1998. cet. Ke-4
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004. cet. Ke-8
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/sikap-keagamaan/
[1] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004. Cet ke-8. hal. 255-257
[2] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama,Kalam Mulia: Jakarta, 1998. cet. Ke-4. hal. 126-129
[3] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal.129
[4] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal.129-130
[5] http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/sikap-keagamaan/

[6] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal. 131-132
[7] Prof. Dr. Djalaluddin, Prof. Dr. Ramayulis, Pengantar… hal. 132

Tidak ada komentar: