Kamis, 19 Februari 2009

Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak

PENGARUH ORANG TUA TERHADAP ANAK

عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها

Dalam mentakhrij hadits, hadits yang akan ditakhrij ditentukan terlebih dahulu. Di sini saya akan mentakhrij hadits ” ماالمولود الايولد على الفطرة“ yang artinya (setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah). Dalam penelusurannya saya menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzi (penelusuran hadits melalui lafaz) dengan merujuk kepada al-mu’jam al-mufahras li alfaz al-nabawi). Kata yang ditelusuri yaitu: “ فطرة“ adapaun yang disajikan oleh al-mu’jam al-mufahras adalah:[1] مامن مولوديولدالايولدعلى هذه الطرة
- خ = جنائز ٨٠, تفسير سورة ٣٠ , ١ , قدر ٣.
- م = قدر ٢٤٬٢٣٬٢٢
- حم = ٬٢ ٬٣١٥ ٣٤٦
Hadits berdasarkan data dari kitab mu’jam masing-masing terletak di dalam kitab sebegai berikut:
Shahih Bukhari: kitab janaiz bab 80, kitab tafsir surah bab 30, kitab qadar bab 3
Shahih Muslim: kitab qadar hadits no 22,23,24
Musnad Ahmad bin Hanbal: juz 2 h. 315 dan 345

Hadits dari masing-masing mukharrij
Hadits dari Bukhari :[2]
باب الله اعلم بما كانوا عاملين))
حدثنى اسحاق اخبرنا عبدالرزاق اخبرنا معمر عن همام عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها
Hadits dari Muslim :[3]
باب معنى كل مولود يولد على الفطرة زحكم موت اطفال اكفار واطفال المسلمين))
حدثنا حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن الزبيدي عن الزهري اخبرنى سعيد بن المسيب عن ابى هريرة انه كان يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ثم يقول ابو هريرة اقرءوا ان شئتم فطرة الله التى فطرالناس عليها لاتبديل لخلق الله
Hadits dari Ahamad bin Hanbal :[4]
حدثنا عبدالله حدثنى ابى حدثنا عفان حدثنا حماد بن سلمة عن قيس عن طاوس عن ابى هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما من مولود يولد الا يولد على الفطرة حتى يكون ابواه اللذات يهودانه وينصرانه كما تنتجون انعامكم هل تجدون فيها جدعاء حتى تكونا انتم تجدعونها واين هم قال الله اعلم بما كانوا عاملين
Pohon Sanad
رسول الله رسول الله رسول الله

ابى هريرة ابى هريرة ابى هريرة

همام سعيد بن المسيب طاوس

معمر الزهري قيس

عبدالرزاق الزبيد حماد بن سلمة

اسحاق محمد بن حرب عفان

بخاري حاجب بن الوليد ابى

مسلم عبدالله

احمد بن حنبل


Pohon Sanad Campuran

رسول الله

ابى هريرة

همام سعيد بن المسيب طاوس

معمر الزهري قيس

عبدالرزاق الزبيد حماد بن سلمة

اسحاق محمد بن حرب عفان

بخاري حاجب بن الوليد ابى

مسلم عبدالله

احمد بن حنبل

Biografi Para Perawi Hadits
1. Imam Bukhari[5]
Imam Bukhari nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari. Lahir di kota Bukhari pada tanggal 13 Syawwal194 H/810 M dan wafat di Samarkand pada malam ‘Idul Fitri tahun 256 H = 31 Agustus 870 M.
Imam Bukhari belajar hadits dari ulama hadits termasyhur, di antaranya: Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd, Ibn Mubarak, ‘Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi, dan Ibn Rawaih.
Sebelum mencapai usia enem belas tahun, Imam Bukhari telah berhasil menghafalkan beberapa kitab hadits, di antaranya karangan Ibnu al-Mubarak dan Waki’. Ia hapal 100.00 hadits shahih dan 200.00 hadits yang tidak shahih. Beliau tidak hanya menghapalkan matan hadits dan buku ulama terdahulu, tetapi ia juga mengenal betul biografi para periwayat yang mengambil baigian dan penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, dan tempat lahir.
Kekuatan ilmu dan hafalan Imam Bukhari, maka para guru, kawan, murid, dan generasi sesudahnya memujinya. Di antara mereka yang memuji Imam Bukhari adalah Abu Bakar Ibn Khuzaimah, al-Hakim, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Abu Bakar ibn Khuzaimah mengatakan: “di kolong langit ini tidak ada ahli hadits yang melebihi Imam Bukhari.” Al-Hakim menceritakan dengan sanad lengkap, bahwa Muslim yang menulis kitab shahih Muslim datang dan mencium antara kedua mata Imam Bukhari dan berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah imam ahli hadits dan dokterpenyakit hadits.” Sementara Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa: “Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan nafas akan habis, karena ia bagaikan laut yang tidak berpantai.”
Di antara guru Imam Bukhari adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, dan ibn Rawaih. Adapun murid beliau di bidang hadits banyak sekali sehingga ada yang mengatakan murid Imam Bukhari sebanyak 90.000 orang. Di antara muridnya adalah Muslim al-Hajjaj, al-Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Daud, dan ibn Yusuf al-Fiyabi.

2. Ishaq
Nama lengkap : Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim bin Mathar al-hanzaly.
Guru : Abdur Razzaq bin Hammam al-shanany, Abdullah bin Raja’ al-Makki, Hafs bin Ghiyats al-Nukhay
Murid : al-Jama’ah selain Ibn Majah, Hasan bin Sufyan, Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Himyary an-Nasafy, Ahmad bin Sahl bin Malik al-Asfarayiny.
Pendapat kritikus : Abbu Ayub : Tsiqah ma’mun
Lahir : 161 H
Wafat : pertengahan bulan Sya’ban th. 238 H[6]
Ishaq bin Ibrahim terkenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih al-Marwazi. Beliaulah yang menganjurkan kepada Bukhari untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih dalam sebuah kitab. Karena anjurannyalah, Bukhari mengumpulkan hadits dalam kitab shahihnya.[7]
3. Abdur Razzaq
Nama lengkap : Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Himyary, Maulahum, al-Yamany, Abu akar as-Shan’any.
Guru : Ma’mar bin Rasyid, Ibrahim bin ‘Umar bin Kaisan as-Shan’any, Ibrahim bin Maimun as-Shan’aniyu, Mu’tamir bin Sulaiman.
Murid : Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih, Ishaq bin Ibrahim bin ‘Ibad al-Dabari, Ishaq bin Ibrahim bin Nasr as-Sa’diyu, Yahya bin Ma’in.
Pendapat kritikus : Ya’qub : Tsiqah, Abu Ahmad bin ‘Adi : Tsiqaat
Lahir : 126 H
Wafat : 211 H pertengahan bulan Sya’ban[8]
Kitab karyanya : Mushannaf Abdirrazzaq.[9]


4. Ma’mar[10]
Nama lengkap : Ma’mar bin Rasyid al-Azdy al-Huddany
Guru : Hammam bin Munabbih, Yahya bin Abi Katsir, Mathar al-Warraq, Ibn Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Urwah.
Murid : Abdur Razzaq bin Hammam, Salamah bin Sa’id, Abdullah bin al-Mubarak, Abdul Malik bin Juraij.
Pendapat kritikus : Yahya bin Ma’in: Tsiqah, an-Nasa’I : Tsiqah, Abu Hatim : Shalih
Wafat : 154 H

5. Hammam
Nama lengkap : Hammam bin Munabbih bin Kamil, bin Siyaj al-Yamani, Abu ‘Uqbah as-Shan’any al-Anbawy
Thabaqah : Tabi’i
Guru : Abi Hurairah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Ibnu ‘Umar bin al-Khattab, Muawiyah bin Abi Sufyan
Murid : Ma’mar bin Rasyid, Ali bin Hasan bin Attasy
Pendapat kritikus : Yahya bin Ma’in : tsiqah, Ibn Hibban : ats-tsiqaat
Wafat : 131 H[11]
Hammam adalah adalah seorang tabi’i yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah, dan mengutip hadits darinya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian beliau kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah Ash-Shahihah.[12]
6. Abi Hurairah
Nama lengkap Abu Hurairah banyak versi ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Abu Hurairah al-Dawsi al-Yamani, versi lain mengatakan ‘Abd al-Rahman ibn Shahr. Abu Hurairah adalah kunyah yang diberikan kepadanya karena ia sering membawa anak kucing. Ia dilahirkan pada tahun 21 SH danmasuk Islam pada tahun ke-7 H. Ia wafat di Madinah pada tahun 57 H/636 M.
Guru dan murid Abu Hurairah dalam periwayatan hadits. Gurunya adalah Nabi Muhammad saw, Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar ibn Khattab, ‘Utsman ibn Zaid. Muridnya antara lain ‘Abdullah ibn ‘Umar, Muhammad ibn Sirin, ‘Urwah ibn Zubair.
Menurut Baqy ibn Makhlad, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, sementara menurut al-Kirmani, beliau meriwayatkan hadits sebanyak 5364 hadits. Dari sejulah hadits tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Ulama kritikus hadits yang memberikan penilaian terhadap Abu Hurairah: 1) ‘Abdullah ibn ‘Umar (w. 37 H) berkata bahwa Abu Hurairah lebih sering bersaam Nabi saw daripada kami, lebih banyak menghafal hadits daripada kami, dan lebih banyak mengetahui hadits Nabi saw daripada kami. 2) Al-Syafi’I (w.206 H) berkata bahwa Abu Hurairah paling hapal hadits daripada periwayat-periwayat hadits pada zamannya, dan paling banyak meriwayatkan hadits daripada mereka. 3) Al-A’raj (w. 117 H) berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadits dari Nabi saw, selalu hadir pada majelis Nabi saw, dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dai Nabi saw. dari pendapat para kritikus hadits di atas dapat dikatakan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadits yang tsiqah.[13]

Analisis Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang bisa menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad saw. atau definisi Mahmud al-Thahhan: لسلة الرجل الموصلة للمتن artinya, rangkaian perawi hadits yang mengantarkan matan hadits.[14]
Hadits di atas diterima oleh al-Bukhari melalui Ishaq yang memperolehnya dari Abdur-Razzaq yang memperolehnya dari Ma’mar yang mempeolehnya dari seorang tabi’i bernama Hammam yang memperolehnya dari seorang sahabat Nabi yaitu Abu Hurairah yang mendengar langsung hadits tersebut dari beliau.
Untuk hadits di atas, Ishaq adalah awal sanad sedang Abu Hurairah adalah akhir sanad, sedangkan yang lain berada di pertengahan sanad. Akan tetapi, bila dilihat sebagai perawi, maka susunannya adalah sebagai berikut:
1. Abu Hurairah adalah perawi yang pertama
2. Hammam adalah perawi kedua
3. Ma’mar adalah perawi ketiga
4. Abdur-Razzaq adalah perawi keempat
5. Ishaq adalah perawi kelima
6. Bukhari adalah perawi keenan, tetapi lebih sering disebut sebagai Mukharrij yaitu orang yang meneliti hadits tersebut sehingga diketahui sanadnya, lalu ditulis dalam kitab karyanya.
Penulis menganalisis sanad hadits dengan melihat dari biografi para perawai dengan menyimpulkan bahwa, sanad hadits di atas bersambung (muttasil) dan sanadnya juga sampai kepada nabi (marfu’), dikarenakan mereka mempunyai hubungan guru dan murid.
Para kritikus hadits memberi penilaian kepada para perawi hadits di atas bahwasannya semua perawi di atas tergolong tsiqah—berkumpulnya dua sifat ‘Adil dan Dhabith. Maka dari itu sanad hadits di atas adalah shahih.

Analisis Matan Hadits
Menurut istilah hadits, yang dimaksud dengan matan hadits adalah pembicaraan (kalam) atau meteri berita yang diover oleh perawi yang berada di akhir sanad (sahabat).
Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu riwayat bi al-lafdzi dan riwayat bi al-ma;na. riwayat bi al-lafdzi adalah menyampaikan kembali kata-kata nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan bi al-lafdzi, maka tidak ada perbedaan antara seorang perawi dengan perawi lainnya dalam menyampaikan hadits Nabi. Akan tetapi, dalam kenyataannya, banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya mereka ditulis dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandungnya sama. Hal ini menunjukkan bahwa para perawi itu tidak meriwayatkan hadits dengan cara riwayat bi al-lafdzi melainkkan dengan cara yang disebut riwayat bi al-ma’na.[15]
Hadits di atas terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang pertama kali diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan redaksi yang sama sedangkan generasi berikutnya dan seterusnya diriwayatkan bi al-ma’na.
Mayoritas ulama hadits membolehkan riwayat bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain sahabat, dengan ketentuan: [16]
a. memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam,
b. dilakukan karena terpaksa, misalnya karena lupa redaksi sabda Nabi secara harfiah,
c. yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan yang bersifat ta’abbudi (ibadah),
d. periwayat bi al-ma’na sepatutnya menambahkan kata او نحو هذا atau yang semakna dengannnya, setelah menyebut matan hadits,
e. kebolehan ini hanya boleh berlaku sebelum masa bembukuan hadits secara resmi.
Penulis menganalisis matan hadits di atas dengan mamberi kesimpulan bahwa matan hadits di atas tidak mengandung unsur-unsur syadz dengan artian matan hadits yang satu dengan yang lainnya—yang diriwaatkan oleh Bikhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal--tidak bertentangan dan hadits di atas juga tidak mengandung kecacatan (‘illat). Maka hadits di atas dapat diterima (maqbul).

Kesimpulan Takhrij Hadits
Setelah menganalis sanad dan matan hadits, penulis memberikan kesimpulan bahwa hadits di atas berkualitas shahih dikarenakan telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yaitu:[17]
a. mempunyai sanad yang bersambung (muttasil)
b. para perawinya ‘adil
c. para perawinya dhabith
d. tidak mengandung unsur-unsur syadz
e. tidak mengandung kecacatan (‘illat) yang dapat merusak keabsahan sebuah hadits, seperti menyambungkan hadits-hadits yang jelas terputus sanadnya (washu munqathi’), me-marfu’-kan yang mauquf (raf’u mauquf) dan me-mursal-kan yang maushul (irsal al-maushul).

Penjelasan Hadits
Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua terhadap pendidikan anak. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan disebut dengan “fitrah.” Secara etimologis, “fitrah” berarti “sifat asal, kesucian, bakat, dan bembawaan,” secara terminology, Muhammad al-Jurjani menyebutkan, bahwa “fitrah” adalah: tabiat yang siap menerima agama Islam.
Kata “fitrah” disebutkan dalam Alquran pada surah al-Rum ayat 30 sebagai berikut:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.
Arinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S al-Rum [30]: 30).
Bila diinterpretasikan lebih, kata “fitrah” bisa berarti macam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefinisikan oleh banyak pakar. Di antara arti-arti yang dimaksud adalah:
1. Fitrah berarti “thuhr” (suci).
2. Fitrah berarti “Islam” (agama Islam)
3. Fitrah berarti “tauhid” (mengakui keesaan Allah)
4. Fitrah berarti “ikhlas” (murni)
5. Fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran.
6. Fitrah berarti “al-Gharizah” (insting)
7. Fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi keapda Allah
8. Fitrah berarti ketetapan atas manusia baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, dsb.
Dalm kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan, bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham convergent. Karena “fitrah” mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-Din al-Qayyim) yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa diubah oleh lingkungan sekitarnya.[18]
Kalau melihat hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi:
Artinya:
“Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhanya. Apakah kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya? Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini:…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah …itulah agama yang lurus…” (HR Bukhari)
Sejalan dengan riwayat Abu Hurairah di atas, “fitrah” merupakan modal seorang bayi untuk menerima agama tauhid dan tidak akan berbeda antara bayi yang satu dengan bayi lainnya. Dengan demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban dua langkah berikut. Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah, serta semangat mencari dalil dan mengesakan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan menginterpreetasikan berbagai gejala alam melalui penafsiran yang dapat mewujudkan tujuan pengokohan fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah. Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak, misalnya tayangan film, berita-berita dusta, tatau gejala kehidupan lain yang ttersalurkan melalui media informasi. Anak- anak harus diberi pemahaman tentang bahaya kezaliman, dekadensi moral, kehidupan yang bebas, dan kebobrokan perilaku melalui metode yang sesuai dengan kondisi anak, misalnya dengan melalui dialog, cerita, atau pemberian contoh yang baik. Melalui cara itu, anak-anak akan terhindar dari peyahudian, penasranian, atau pemajusian seperti yang diisyaratkan hadits di atas.[19]
Al-Ghazali menetapkan tentang upaya membiasakan anak terhadap hal-hal yang baik atau buruk berdasarkan respon dan instingnya (fitrahnya). Di antara kata-katanya adalah:
Anak itu amanat bagi kedua orang tuanya. Dan hatinya yang suci itu adalah permata yang mahal. Apabila ia diajar dan dibiasakan pada kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan akan mendapatkan kebahagiaan di duni dan akhirat. Tetapi, apabila ia dibiasakan untuk melakukan kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang-binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Dan untuk memeliharanya adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak-akhlak yang mulia kepadanya.[20]
Alangkah indahnya kata-kata berikut ini:
Pemuda-pemuda kita tumbh sesuai dengan apa yang telah dibiasakan oleh bapaknya.
Pemuda itu tidak hidup dengan akalnya, tetapi dengan beragamanya. Maka dekatkanlah ia dengan agama.
Dari sini, dapat diketahui bahwa jika anak tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah.[21]
Dapat dipahami bahwa “fitrah” sebagai pembawaan sejak lahir bisa dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, bahkan ia tak dapat berkembang sama sekali tanpa adanya pengaruh lingkungan tersebut. Sementara lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesaui dengan cita-cita manusia).
Namun demikian, meskipun “fitrah” dapat dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi kondisinya tidak netral. Ia memliki sifat yang dinamis, reaktif dan responsive terhadap pengeruh dari luar. Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya, terjadi interaksi saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan sekitarnya, sampai akhir hayat manusia.[22]
Pada hakikatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan peyahudian, penasranian, atau pemajusian, tetapi lebih luas lagi, yaitu menyangkut seluruh gerakan yang menyimpangkan anak dari fitrahnya yang suci. Karena itu orang tua dituntut untuk waspada agar dirinya tidak terjerumus pada gerakan tersebut dan anak kita mencontoh perilaku hidup kita. Misalnya, orang tua harus mewaspadai bacaan atau majalah anak-anak yang dapat menjerumuskan anak pada kesesatan atau penyimpangan.[23]

Tinjauan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya tiga teori pendidikan, yaitu:
1. Aliran Nativisme yang dipelopori oleh Schopenhauer. Ia mengetakan bahwa bakat mempunyai peranan yang penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelak. Sehingga pendidikan diumpamakan dengan “Mengubah emas menjadi perak” adalah hal yang tidak mungkin.
2. Aliran Empirisme yang dipelopori oleh John Lock. Ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teorinya terkenal dengan istilah “Teori Tabularasa.” Ini artinya bahwa kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih-bersih yang dapat diwarnai setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan, pendidikan adalah orang yang mampu memberi “warna” terhadap anak didik.
3. Aliran Convergensi yang dipelopori oleh William Stern. Alirian ini mengakui kedua ailiran sebelumnya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini lebih menekankan tentang pentingnya pendidikan.[24]
Para pendidik dan orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar untuk melahirkan anak-anak dengan berpijak di atas landasan iman dan mengajarkan dasar-dasar Islam, maka selayaknya setiap orang yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban itu mengetahui batasan-batasan tanggung jawab dan kewajiban yang dipikulkan di atas pundaknya agar dapat melahikan anak yang berpijak pada landasan pendidikan iman yang sempurna dan diridhai Allah.
Secara berurutan, batasan tanggung jawab dan kewajiban itu adalah sebagi berikut:
1. Membina anak-anak untuk beriman kepada Allah, kekuasaan-Nya dan ciptaan-ciptaann-Nya Yang Maha besar, dengan jalan tafakkur tentang penciptaab langit dan bumi. Bimbingan ini diberikan ketika anak-anak sudah dapat mengenal dan membeda-bedakan sesuatu. Dalam membina ini sebaiknya para pendidik menggunakan metode sosialisasi berjenjang. Yaitu dai hal-hal yang dapat dicerna hanya dengan menggunakan indera, meningkat pada hal-hal yang logis.
2. Menanamkan perasaan khusu’, dan ‘ubudiyah kepada Allah Swt. di dalam jiwa anak-anak dengan jalan membukakan mata mereka agar dapat melihat suatu kekuasaan yang penuh mukjizat, dan suatu kerajaan besar yang serba mengagumkan.
3. Menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt. pada diri anak-anak di dalam setiap tindakan dan keadaan mereka.[25]

Kesimpulan
Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua dan lingkungan terhadap anak. Seorang bapak hendaknya memberi pengaruh-pengaruh positif terhadpa anak-anaknya dengan cara membina anak untuk beriman kepada Allah, menanamkan rasa khusu’, dan menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt.
Hadits di atas bisa disebut juga dengan aliran konvergensi tetapi yang Islami yaitu pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan.







Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah. Shahih Bukhari Juz 7.Darul Fikri 1994
Al-Mizi, Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf. Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal. Beirut: Muassasah ar-Risalah
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet. Ke-4
An-Naisabury, Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy. Shahih Muslim. Riyadh: Darus Salam 1998
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres, 2002, cet. Ke-1
Hanbal, Imam Ahmad ibn. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 2. Al-Maktab Al-Islami
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadits. Jakarta: Bumi Aksara. 1997
Khon, Majid. dkk. Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005
Ulwan, Abdullah Nasih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali. Semarang: CV Asy Syifa’
Wensinck, A.J. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Nabawi juz 5
[1] A.J. Wensinck, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Nabawi juz 5. h. 180
[2] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 7 (Darul Fikri 1994), h. 268
[3] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy An-Naisabury, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam 1998), h. 1157-1158
[4] Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 2 (Al-Maktab Al-Islami) h. 346-347
[5] Majid Khon, dkk. Ulumul Hadits. (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005), h. 241-242
[6] Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal Juz al-Tsani. (Beirut: Muassasah ar-Risalah), h. 373-388
[7] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits. (Jakarta: Bumi Aksara. 1997), h. 89
[8] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 18. h.52-61
[9] Jumantoro, Kamus…,h. 4
[10] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 28. h.303-311
[11] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 30. h. 298-300
[12] Jumantoro, Kamus…,h. 70
[13] Khon, Ulumul…,h. 211-212
[14] Khon, Ulumul…,h. 126
[15] Khon, Ulumul…, h. 130-131
[16] Khon, Ulumul…, h. 133
[17] Khon, Ulumul…, h, 151
[18] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), cet. Ke-1, h. 7-8
[19] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. Ke-4, h. 145
[20] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali. (Semarang: CV Asy Syifa’), h. 156-17
[21] Ulwan, Pedoman…,h.157
[22] Arief, Pengantar..., h. 8
[23] Nahlawi, Pendidikan…, h. 45-46
[24] Arief, Pengantar…,h. 5-6
[25] Ulwan, Pedoman…, h. 159-166

Tidak ada komentar: