Kamis, 19 Februari 2009

SYED M. NAQUIB AL-ATTAS DAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Pendahuluan
Topik Islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam sudah diperdebatkan sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah 1977. tetapi sayangnya tidak ada usaha serius untuk melacak sejarah gagasan dan mengkaji atau mengevaluasi sejumlah persoalan pokok yang berkenaan dengan topik ini pada tingkat praktis.
Gagasan Islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai atau netral. Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke Dunia Islam, ilmu itu secara tak terelakkan sesungguhnya mengandung nilai-nilai dan merefleksikan pandangan-dunia masyarakat yang menghasikannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu tersebut harus ditepis terlebih dahulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan-dunia Islam bisa disingkirkan. Gagasan islamisasi, dengan demikian, merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudain direkonstruksi ke dalam system pengetahuan Islam.
Dalam makalah ini kami akan mengupas persoalan islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas dan dipraktikkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi pemikir Muslim kontemporer yang sangat menonjol.

Pembahasan
1. Syed M. Naquib Al-Attas
C Biografi Syed M. Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antaranya adalah Syed Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syed Abû Hafs ‘Umar ba Syaibân dari Hadramaut, yang mengantarkan Nûr Al-Dîn Al-Rânîrî, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘Aydarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Syed Muhammad Naquib. Dari keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang sangat bermanfaat baginya dalam mengembangkan dasar-dasar bahasa, sastra, dan kebudayaan melayu.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Pada masa pendudukan Jepang, dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqâ, Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zahrah School kemudian di English Colleg (1946-1951).
Syed Muhammad Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain.[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disisplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan beberapa kontribusi baru dalam disiplin keislaman dan pereadaban melayu.
Dia jugalah orangnya yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. pada 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazâlî. Pada 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekoradi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhantradisional dan gaya kosmopolitan.[2]

B Karya Tulis
(1) Buku dan Monograf
Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania. Di antara karya-karyanya tersebut adalah:[3]
1. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.
2. Islam and the Philoshophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
3. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala, Lumpur, 1977. versi bahasa Melayu
4. Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf yang belum diterbitkan, 286 h., ditulis antara Februari-Maret 1973. (buku ini kemudian diterbtkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001—penerj.)
5. The Mysticism of Hamzah Fanshûrî, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969
(2) Artikel
2. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala Lumpur, 1966
3. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
4. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
5. “A General Theory of The Islamization of the Malay Archipelago”, Profiles of Malay Culture, Historiographi, Religion, and Politics, editir Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976

C Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas
Latar belakang akademis al-Attas adalah kajian sastra dan sejarah Melayu. Namun pemikirannya dalam bidang sejarah pun nyaris tidak pernah lepas dari pembahasan metafisika atas Islam. Salah satu isu terpenting dari metafisika Islam adalah posisi ilmu dan persoalan epistemology.
Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memilki tujuan yang sama dengan metafisika. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan harus bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi. Al-Attas memang lebih kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan daripada ilmu pengetahuan Islam. Dia pun menggunkan istilah “islamisasi” secara terbatas dan menerapkannya secara persial atas temuan ilmu pengetahuan kontemporer, meskipun pada mulanya dialah yang pertama kali menggunkan istilah ini dalam makna yang dipahami kini.[4] Al-Attas dalam bukunya The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis dan faham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam, kemudian dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.[5]
Bagi al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah.[6]
Mengenai ilmu pengetahuan modern, al-Attas berpendirian relatif jauh lebih terbuka dibandingkan dengan beberapa pemikir lainnya, karena ia menganggap islamisasi ilmu pengetahuan tidaklah berhubungan langsung dengan teoriilmu pengetahuan tertentu, karena sampai tingkat tertentu, temuan ilmu pengetahuan, misalnya toeri gravitasi Newton, adalah bebas nilai.
Dalama filsafat ilmu pengetahuan modern, terutama al-Attas mengkritik pandangan mengenai sumber ilmu yang tidak mengakui adanya sumber kebenaran mutlak, seperti Alquran, dan otoritas serta metodenya.
Dalam upayanya mengajukan alternatif, al-Attas bergerak lebih jauh dengan menunjukkan secara terperinci dasar-dasar penciptaan epistemology Islam, yang terutama dicapai oleh para filsuf muslim terdahulu. Ini terutama dibahas dalam karya terakhirnya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (mukadimah bagi Metafisika Islam, 1995), yang berupaya mengupas asas-asas metafisika dan epistemology Islam dengan bersandar pada para temuan filsuf muslim itu. Jika semua ini telah terumuskan dengan baik, dan diajarkan kepada individu muslim sedemikian hingga ilmu ini cukup dihayati, maka Islamisasi tidak menjadi persoalan lagi karena akan terjadi secara otomatis melalui diri individu itu. Jadi “lokus” islamisasi bukanlah disiplin ilmu, namun individu ilmuannya.[7]

2. Ismail Raji al-Faruqi
A Biografi Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. pendidikan yang dilaluinya, seperti kebanyakan anak-anak keturunan arab yang selalu mengutamakan pendidikan agama, ia juga memulai pendidikannya dengan pendidikan agama. Selanjutnya ia memasuki College Des Fress, Libanon sejak 1926 sampai 1936. selesai di lembaga ini, ia selanjutnya kuliah di Amerika University, Beirut sampai menyelesaikan sarjana muda dengan gelar BA (Bachelor of Arts) tahun 1941[8], al-Faruqi lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat,[9] dan mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di temple University sampai akhir hayatnya 27 Mei 1986 (18 Ramadhan 1406 H). meninggal dunia dalam suatu peristiwa tragis, para ekstrimis Yahudi membunuh al-Faruqi serta istrinya dalam rumahnya di kota Wyncote Pencylvania.
Dia adalah seorang nasionalis Arab yang banyak membuat tulisan tentang agama Yahudi dan perbandingan agama. Hingga kinipun, seperti tampak pada banyak artikel dalam buku, jurnal, ataupun ensiklopedi yang membahas sumbangan pemikirannya, ia lebih dikenal sebagai seorang pemikir dalam disiplin kajian agama. Ia juga menulis beberapa artikel dalam jurnal kajian agama.[10]

B Karya Tulis
Al.-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel. Di antara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid: its Imlications for Thought and file (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al- Faruqi yang berimplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harusditempuh dalam proses islamisasi tersebut.[11]
Karya-karya terpentingnya lagi adalah The Trialogue of AbrahamFaiths (Perbincangan Tiga Pihak mengenai Agama Ibrahim, 1986), Essays in Islamic and Comparative Studies (Esai dalam Kajian Islam dan Komparatif, 1982), Historical Atlas of the Religions of the World (Atlas Historis Agama Dunia, 1974) dan sebagainya.[12]

C Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Al-Faruqi sampai pada kesimpulannya tentang perlunya Islamisasi setelah menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, seperti polit, ekonomi, dan budaya muslim terpinggirkan, kalah oleh dominasi barat. Menurtnya, inti masalah ini adalah system pendidikan yang mengasingkan muslim dari agamanya sendiri, dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan.
Dengan demikian, solusinya adalah membenahi system pendidikan. System pendidikan yang membuat pemisahan antara ilmu agama (madrasah) dan ilmu non agama (sekolah, universitas) harus dipadukan kembali. Pada tingkat ini pula al-Faruqi sudah mulai membayangkan langkah praktis yang harus dilakukan. Ia membayangkan bahwa universitas-universitas di dunia Islam harusnya cukup banyak memberikan pengajaran tentang peradaban Isalam. Tujuannya adalah memunculkan kembali identitas pelajar muslim.[13]
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya. [14]
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah memberikan definisi baru, mengarur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan – dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.[15]
Selanjutnya, secara terperinci ia menjabarkan proyek islamisasi ilmunya dalam dua belas langkah praktis, yaitu: [16]
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris
2. Survei atau tinjauan disiplin ilmu
3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa
5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya di masa kini
7. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa ini
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9. Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia
10. Analisa kreatif dan sintesa
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku dasar tingkat unuversitas
12. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamiskan
Adapun alat-alat Bantu lain untukmempercepat islamisasi pengetahuan adalah:[17]
1. Konfrensi-konfrensi dan seminar-seminar
2. Lokakarya-lokakarya untuk pembinaan staf

Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu
Di seberang para penggagas ilmu pengetahuan Islam ini tentu saja ada pendirian lain yang bertentangan, seperti halnya Fazlur Rahman. Rahman adalah sarjana muslim yang memusatkan kajiannya pada al-Quran. Dari segi kuantitas karyanya dalam lingkup wacana ilmu pengetahuan Islam memang tidak menonjol. Rahman hanya manulis dua artikel tentang masalah ini dalam majalah Arabia dan AJIIS, yang sempat memancing polemik sengit di negerinya, Pakistan. Namun pandangannya cukup mewakili gagasan para penentang islamisasi ilmu.
Fazlur Rahman menganggap rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu terlalu mekanistis. Sementara al-Faruqi, dalam urutan langkah-langkah programnya, tampak lebih mementigkan penguasaan ilmu pengetahuan barat yang harus terlebih dahulu digarap daripada tradisi Islam sendiri.
Istilah Islamisasi bagi Rahman mengesankan sifat mekanis, karena seakan-akan dalam menghadapi berbagai ilmu yang datang dari barat, sesorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasikannya.
Sebetulnya Rahman tidak sepenuhnya menentang gagasan ini, namun lebih menentang beberapa varian dalam gagasan ini yang memang terkesan bersifat mekanis. Ini, misalnya tampak dalam program 12 langkah al-Faruqi. Namun yang menjadi persoalan kemudian tidak hanya ilmu yang datang dari barat, tetapi dalam tradisi Islam sendiri tidak tertutup kemungkinan adanya teori yang tidak sesuai dengan Islam.
Satu hal yang tampaknya lebih penting dari respon Rahman adalah bahwa ia telah membawa persoalan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam konteks aktivisme Islam ke dalam kerangka perdebatan teoretis yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menciptakan teori-teori dan system-sistem yang diturunkan dari Alquran secara abash.
Kritikan selanjutnya dilakukan oleh Pervez Hoodboy yang bertumpu pada pandangan instrumentalis yang sama dengan pandangan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Serupa juga dengan Rahman, ia sebenarnya lebih mengarahkan kritiknya pada beberapa varian dalam wacana islamisasi ilmu, yang terutama diwakili oleh al-Faruqi.
Hoodboy mempertanyakan kebermaknaan istilah “ilmu pengetahuan Islam” sendiri. Menurutnya, harus dilakukan perbedaan antara ilmu pengetahuan yang dipraktekkan oleh kaum muslim pada saat ini maupun pada zaman keemasan Islam dan konsep ilmu pengetahuan Islam yang dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam.[18]

Kesimpulan
Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, menurut mereka islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, dkk, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 2002
Al-Atta, Syed Muhammad Al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, penerjemah Haidar Bagir. Bandung: Mizan 1996, cet. ke 7
Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan, penerjemah Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, penerjemah Hamid Fahmi dkk. Bandung: Mizan, 2003. cet. ke 1
Harahap, Syahrin dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedi Aqidah Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003
http://72.14.235.132/search?q=cache:qTfEBCluaxsJ:digilib.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah.pdf+Ismail+Raji+Al-Faruqi&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi


[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, penerjemah Hamid Fahmy dkk (Bandung: Mizan, 2003), cet ke 1. h. 45-47
[2] Daud, Filsafat…, h. 51
[3] Daud, Filsafat…, h. 55-58
[4] Zainal Abidin Bagir, “Al-Attas”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 147-148
[5] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, penerjemah Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke 7, h. 95
[6]http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm
[7]Bagir “Al-Attas”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,147
[8] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003) h. 97
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi
[10] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[11] http://72.14.235.132/search?q=cache:qTfEBCluaxsJ:digilib.usu.ac.id/download/fs/arab-rahimah.pdf+Ismail+Raji+Al-Faruqi&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
[12] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[13] Bagir “Al-Faruqi”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,149
[14] http://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin_ilyas_islamisasi_ilmu_pengetahuan.htm

[15] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, penerjemah Aanas Mahyuddin, (Bandung: PUSTAKA) h. 38-39
[16] al-Faruqi, Islamisasi…,h.98-115
[17] al-Faruqi, Islamisasi…,h. 118
[18] Bagir “Kritik atas Gagasan Islamisasi Ilmu”, dalam Taufik Abdullah, dkk (e.d), Ensiklopedi..,145-155

Tidak ada komentar: