Minggu, 25 Oktober 2009

RĀBI’AH AL-‘ADAWIYAH: MAHABBAH

RĀBI’AH AL-‘ADAWIYAH: MAHABBAH

1. Biografi Singkat Rābi’ah al-‘Adawiyah
Rābi’ah al-‘Adawiyah dilahirkan pada tahun 95 H/714 M atau 99 H/717-718 dan meninggal dunia di kota kelahirannya, Bashrah, pada tahun 185 H/801 M. Beliau dilahirkan di suatu perkampungan di Bashrah (Irak). Kedua orang tuanya berasal dari keluarga fakir dan sudah meninggal saat Rābi’ah masih muda. Meski orang tua Rābi’ah fakir, pendidikan agama pada keluarganya sangatlah dipentingkan. Rābi’ah telah terbiasa dididik dengan akhlak mulia. Sejak kecil, Rābi’ah selalu ikut kegiatan ibadah orang tuanya, baik itu ibadah mahdlah atau hanya sekadar membaca Alquran dan berzikir.
Sejak kecil pula Rābi’ah telah dapat merasakan keadaan orang tuanya, seperti seseorang yang telah dewasa merasakannya. Ia menjadi pendiam, tidak menuntut terlalu banyak dari orang tuanya seperti kebanyakan gadis kecil yang sedang beranjak dewasa. Jika sedang menghadapi hidangan makanan, ia tidak memperlihatkan kerakusannya, tetapi hanya mengambil sekadarnya saja. Selesai makan, tidak lupa ia mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., seperti yang juga dilakukan oleh kedua orang tuanya. Selain itu, Rābi’ah mengambil teladan dari kedua orang tuanya dan dari saudara-saudaranya yang lain, mengenai ajaran agama Islam dan sifat-sifat keutamaan. Pernah Rābi’ah mendengar lafal-lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya karena selalu diulang-ulang dalam doanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memerhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah, antara lain dengan membaca Quran dan berzikir; ia pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya. Rābi’ah juga sangat suka belajar menghafal ayat-ayat Alquran. Bila telah berhasil menghafalnya, ia duduk dan menghafalnya kembali dengan perasaan khusyuk, iman yang mendalam, dan pemahaman yang sempurna. Melihat hal ini, tak kuasa ayahnya menahan air mata. Ia sendiri tak tahu, apakah ini air mata gembira, atau air mata terharu, atau perasaan khusyuk.
Tidak jarang pula ayah Rābi’ah melihat putrinya mengasingkan diri, bermuka muram dan sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadat kepada Allah, tak ubahnya tokoh-tokoh sufi yang telah terkenal. Pada suatu malam, ayahnya meninggalkan dia yang sedang membaca Alquran, menghadap kiblat sambil berdoa dengan menengadahkan tangannya, lalu menyapu mukanya dengan kedua tangannya, setelah ia selesai berdoa. Dalam keadaan seperti ini, hidup dalam suasana keimanan, peribadatan dan zuhud, Rābi’ah seolah-olah telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi tantangan zaman, seperti kekacauan, pergolakan, dan cobaan yang akan menimpa dirinya. Dalam usianya yang masih sangat muda, ayah Rābi’ah berpulang ke rahmatullah, yang kemudian disusul oleh ibunya. Dengan demikian, sejak kecil ia telah merasa pahitnya penderitaan sebagai anak yatim, yang hidup dalam kemiskinan.
Menurut Muhammad Atiyah Khamis, setelah kedua orang tua Rābi’ah wafat, ia jatuh ke tangan perampok karena dihadang segerombolan penyamun, kemudian dia dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah, yaitu 6 dirham. Pedagang yang telah membeli Rābi’ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya secara tidak manusiawi. Ia bertindak sebagai orang yang kasar dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim-piatu seperti Rābi’ah. Namun Rābi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kebengisan pedagang itu tidak menjadikannya putus asa, tetapi justru semakin mengokohkan imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan. Jika pada siang hari ia harus membanting tulang melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa, bermunajat pada Allah, memohon ampunan dan rida-Nya.
Suatu ketika, Rābi’ah berdoa dan mendirikan salat. Pedagang yang menjadi majikannya tiba-tiba melihat sebuah lentera berayun-ayun di atas kepala Rābi’ah, tanpa tali yang menahannya. Yang lebih mengherankan pedagang itu, cahaya lentera itu memancar ke seluruh kamar, sehingga menimbulkan ketakutan di hati majikan Rābi’ah. Semalaman ia tidak dapat memejamkan matanya, berusaha mencari jawaban atas peristiwa yang hampir tak dapat dipercayainya. Ketika fajar menyingsing, pedagang itu mendatangi Rābi’ah, dan berkata: “Rābi’ah, aku memberikan kebebasan kepadamu. Jika engkau mau, engkau boleh tinggal di sini. Kami semua akan menyediakan segala keperluanmu. Namun, kau bebas untuk menentukan pilihanmu, jika kau memang ingin meninggalkan kami.” Begitu mendengar perkataan tuannya, Rābi’ah segera bangkit, lalu mengucapkan selamat tinggal kepada tuannya, dan segera berangkat. Sejak itu, Rābi’ah telah menjadi orang yang merdeka.
Rābi’ah mencapai usia delapan puluhan tahun. Bukan hanya semata-mata tahun yang panjang, tapi waktu yang penuh dengan berkat hidup yang menyebar ke sekitarnya atau seperti dikatakan Louis Massignon, suatu kehidupan yang menyebarkan wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya dan cinta yang tak pernah padam.

2. Konsep Mahabbah dalam Pandangan Rābi’ah al-‘Adawiyah
Kata “mahabbah”, atau “al-hubb”, menurut al-Qusyairī, adalah diambil dari kata habab (gelembung air) yang selalu di atas air, karena cinta merupakan puncak segalanya dalam hati. Juga merupakan sesuatu yang melambung di atas air ketika hujan turun. Di atas cinta ini hati terasa mendidih dan semakin meluap saat haus serta berkobar kerinduannya untuk bertemu kekasihnya. Di samping itu, al-hubb diambil dari al-habb, sebagai bentuk jamak kata al-habbah (biji). Sedang biji hati, sebagai sesuatu yang berada dan menetap dalam hati, sehingga al-habb (biji-bijian) dinamakan al-hubb (cinta), karena yang dimaksud adalah tempatnya.
Menurut al-Hujwiri, al-mahabbah/al-hubb terambil dari kata al-hibbah, merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Kata ini ditujukan kepada benih-benih di padang pasir tersebut (al-hibb), karena cinta itu sebagai sumber kehidupan sebagaimana benih-benih itu merupakan asal mula tanaman. Tokoh lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari al-hubb, yang berarti sebuah tempayan penuh dengan air tenang, karena jika cinta itu berpadu di dan memenuhi hati, maka tak ada ruang bagi pikiran tentang selain yang dicintai. Kata al-Syiblī, cinta itu dinamakan al-mahabbah, karena ia menghapus dari hati, segala sesuatu kecuali yang dicintainya. Kata tokoh lain, al-mahabbah diturunkan dari al-habb, jamak al-habbah, dan al-habbah itu relung hati di mana cinta bersemayam. Sumber lain menuturkan, kata itu diturunkan dari al-habab, yaitu gelembung-gelembung air dan luapan-luapannya waktu hujan lebat, karena cinta itu luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih. Ini sebagaimana badan bisa hidup, karena ada ruh, begitu pula hati dapat hidup karena ada cinta, dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan kekasih.
Sementara itu, menurut Harun Nasution, al-mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain: (a.) Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya; (b.) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi; dan (c.) Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
Menurut Margaret Smith, Rābi’ah adalah orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi kala itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsepsi al-mahabbah atau al-hubb menurut Rābi’ah, akan ditelusuri pernyataannya tentang cinta.
Pada suatu ketika, Rābi’ah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rābi’ah menjawab :
“Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.”

Rābi’ah juga membagi cinta menjadi dua macam. Pertama, cinta yang dapat membahagiakannya, dan kedua, cinta yang menjadi hak Allah. Pembagian ini dapat dilihat dalam syairnya :
أُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبُّ الْهَوَى # وَحُبُّ لَأَنَّكَ أَهْلٌ لِذَاكَ
فَأَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّ الْهَوَى # فَشُغْلِيْ بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
وَأَمَّا الَّذِيْ أَنْتَ أَهْلٌ لَهُ # فَكَشْفُكَ لِيَ الْحِجَابُ حَتَّى أَرَاكَ
فَلاَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَلاَ ذَاكَ لِيْ # وَلَكِنَّ لَكَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَذَاكَ

“Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Adapun cinta karena diriku adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu. Adapun cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku, bagi-Mulah pujian baik untuk ini maupun untuk itu.”

Bagi Rābi’ah, ibadah bukan untuk masuk surga atau menghindari neraka, tetapi untuk berjumpa dengan yang dicintai, yaitu Allah semata. Ini dapat dilihat pada :
إِلَهِيْ هَذَا اللَّيْلُ قَدْ أَدْبَرَ وَهَذَا النَّهَارُ قَدْ أَسْفَرَ فَلَيْتَ شَعْرِى أَقْبَلْتَ مِنْ لَيْلَتِى فَأَهْنَأَ أَمْ رَدَدْتَهَا فَأَعْزَى فَوَعَزْتُكَ هَذَا دَأْبِى مَا أَحْيَيْتَنِى وَأَعْنَتَنِى، وَعِزَّتُكَ لَوْ طَرِدْتَنِى عَنْ بَابِكَ مَا بَرِحْتُ عَنْهُ لِمَا وَقَعَ فِى قَلْبِى مَنْ مَحَبَّتِكَ
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalku Engkau terima hingga aku merasa gembira atau Engkau tolak hingga aku merasa sedih? Demi Mahakuasa-Mu inilah yang aku lakukan selama aku Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau mengusir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”

Atau, dalam pernyataannya yang lain :
بِأَنِّي مَا عَبَدْتُ اللهَ حُبًّا فِى جَنَّتِهِ وَلاَ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيْهِ
“Sesungguhnya aku tidak menyembah Allah karena mencintai surga-Nya, dan bukan pula takut neraka-Nya, tetapi aku menyembah-Nya karena mencintai-Nya dan merindukan-Nya.”

Bagi Rābi’ah, mahabbah merupakan maqām tertinggi dalam kesufiannya. Tahapan-tahapan kesufian Rābi’ah ialah taubah, zuhud, ridla, muraqabah, dan terakhir, mahabbah. Bagi Rābi’ah, cinta kepada Allah merupakan pendorong segala aktivitasnya. Dalam hidupnya di dunia ini, dia hanya ingin mengingat Tuhan dan di akhirat nanti, dia hanya ingin bertemu dengan Tuhan. Hati Rābi’ah telah dipenuhi oleh rasa cinta sampai tak ada ruang untuk membenci sesuatu, termasuk kepada setan. Hal ini tercetus sewaktu ditanya tentang setan, dia menjawab, “Tidak (benci), cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci pada setan.” Tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw., dia menyatakan,” Saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Sang Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.”
Wallāhu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Mohammad. Akhlak-Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf. Jakarta: 2005.
Asyhari, Muhammad. Tafsir Cinta: Tebarkan Kebajikan dengan Spirit Alquran. Jakarta: Hikmah, 2006.
Khamis, Muhammad Atiyah. Rabi’ah al-Adawiyah: Penyair Wanita Sufi, Penerjemah Aliudin Mahjuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
al-Naisābūrī, ‘Abd al-Karīm Hawazin al-Qusyairī. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Penerjemah Umar Faruq. Jakarta: Pustaka Amani, 1998.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Smith, Margaret. Rabi’ah al-Adawiyah: Pergulatan Spiritual Perempuan, Penerjemah Jamilah Baraja. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.
al-Sulami, Abū ‘Abdurrahmān. Sufi-sufi Wanita: Tradisi yang Tercadari, Penerjemah Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 2004.

Tidak ada komentar: