Minggu, 25 Oktober 2009

MALAIKAT

MALAIKAT

Surah Fathir ayat 1

1. Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Artinya: Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Firman Allah Ta’ala, “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi,” yakni mengadakan keduanya dari tiada, “yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan” antara Dia dan para nabi-Nya, “yang bersayap”, yakni mereka terbang dengan sayap itu untuk mencapai tujuan yang diperintahkan dengan cepat,” dua, tiga, dan empat”. Di antara malaikat ada yang bersayap dua, bersayap tiga, dan bersayap empat, serta di antara mereka pun ada yang banyak sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits,
“Rasulullah saw. melihat Jibril a.s. pada malam isra. Jibril memiliki enam ratus sayap. Jarak antara sayap yang satu dengan yang lain sejauh timur dan barat.”
Karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “Allah menambah pada ciptaan itu apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” As-Sidi berkata, “Allah menambah jumlah sayap dan menciptakan mereka menurut kehendak-Nya.”
Kata father terambil dari kata fathara yang pada mulanya berarti membelah. Dari makna ini lahir makna-makna lain seperti menciptakan pertama kali. Allah seakan-akan membelah ketiadaan lalu dari celahnya muncul ciptaan, yang dalam konteks ayat ini adalah semua langit dan bumi.
Kata malaikah dalam penggunaannya pada bahasa Indonesia, biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama dengan kata ulama. Dalam bahasa Arab –dari mana kata-kata itu berasal—keduanya berbentuk jamak, dari kata malak untuk malaikat dan ‘alim untuk ulama. Ada ulama yang berpendapat bahwa malak terambil dari kata alaka-ma’lakah yang berarti mengutus. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan, untuk berbagai funngsi. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti menyampaikan sesuatu. Malak/Malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah SWT.
Kata ajnihah adalah bentuk jamak dari kata janah yakni sayap. Bagi burung misalnya, sayap adalah bagaikan tangan bagi manusia. Kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yakni memang makhluk ini memiliki sayap –walau kita tidak mengetahui persis bagaimana bentuknya, bisa juga ia dipahami dalam arti potensi yang menjadikan ia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat yang lain. Thabathaba’i menegaskan bahwa inilah yang dimaksud oleh kata tersebut oleh ayat di atas.
Firman-Nya: yazidu fi al-khalq ma yasya’ / Dia menambbahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki, penambahan ini dapat mencakup sekian banyak hal dan aspek, baik jasmani maupun ruhani, ada yang ditambah kekuatan fisiknya, atau spiritual dan kecedasannya. Ada yang memiliki kelebihan dalam keindahan dan kecantikan, atau kepandaian bertutur dan kekuatan argumentasi dan lain-lain sebagainya, penggalan ayat ini mengisyaratkan juga adanya malaikat yang memiliki sayap lebih dari empat. Memang dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rasul saw. melukiskan malaikat Jibril memiliki lima ratus sayap. Az-Zuhri meriwayatkan bahwa malaikat Israfil memiliki dua belas ribu sayap.
Hakikat malaikat diperselisihkan oleh ulama. Banyak yang berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah dan sedikit pun tidak pernah membangkang. Mantan Mufti Mesir, Muhammad Sayyid Thanthawi menulis dalam bukunya al-Qishshah fi Alquran (Kisah dalam Alquran) bahwa malaikat adalah tentara Allah. Tuhan menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, serta menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan untuk berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Menurut Syaikh Thahir bin Shalih al-Jazair, di dalam kitabnya Al-Jawahir al-Kalamiyyah disebutkan bahwa malaikat adalah jisim yang halus yang diciptakan dari cahaya: mereka (malaikat) itu tidak makan dan tidak pula minum, dan mereka itu adalah hamba yang dimuliakan yang tidak bermaksiat kepada Allah dan mengerjakan segala perintahnya.
Informasi tentang kejadian malaikat ditemukan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad at-Tirmidzi dan Ibn Majah melalui isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasul swa. Bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana telah dijelaskan pada kalian.”
Muhammad Abduh yang di satu sisi kelihatan sangat Salafi, di sisi lain ia amat Khalafi dalam membicarakan hakikat malaikat, bahwa malaikat dalam sikapnya yang pertama dapat di lihat dari penjelasannya yang berikut:
Manurut ulama salaf, malaikat adalah makhluk Allah yang keberadaan dan sebagian tugas-tugasnya telah diinformasikan oleh-Nya. Kita wajib mengimaninya dan tidak perlu mengetahui hakikatnya. Pengetahuan tentang hakikat malaikat sepenuhnya diserahkan kepada Allah SWT. Kalau pun diinformasikan bahwa malaikat itu bersayap, kita harus mempercayai hal itu. Akan tetapi perlulah dipahami bahwa sayap malaikat tentu bukan seperti sayap burung yang berbulu, sebab jika sayap malaikat seperti sayap burung niscaya kita bisa melihatnya. Demikian pula jika diinformasikan bahwa malaikat menjalankan tugas tertentu yang berkait dengan dimensi fisik (jasmaniah), semacam tumbuh-tumbuhan atau lautan, kita perlu menegaskan bahwa di alam ini terdapat alam lain yang keterkaitannya sangat erat dengan system atau hokum-hukum alam itu sendiri. Akal tidak bisa memutuskan hal itu sebagai sesuatu yang mustahil, melainkan sebagai sesuatu yang mungkin, sejalan dengan penegasan wahyu yang memberitakan hal tersebut.
Dari penjelasan tersebut, Muhammad Abduh bersikap sederhana dalam menerima informasi tenttang malaikat, yang penting baginya adalah beriman akan adanya makhluk gaib yang disebut malaikat, dan tidak perlu pusing-pusing mendalami tentang hakikatnya. Hakikat malaikat, menurutnya, hanya Allah yang mengetahuinya. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh, manusia cukup uuntuk mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji persoalan hakikatnya. Hal yang terakhir ini dapat disimak lebih jelas dari pernyataannya yang berikut:
Banyak ulama telah berusaha mengkaji substansi (jawhar) malaikat. Tetapi, yang berhasil menguak misteri ini amat sedikit. Oleh karena mengetahui atau mengkaji tentang hakikat malaikat termasuk taklif (beban) yang nyaris berada di luar batas kemampuan manusia, maka bisa dibenarkan manusia cukup mengimani adanya alam gaib tersebut tanpa harus mengkaji hakikattnya. Tentu saja merupakan keistimewaan tersendiri bagi orang yang dikaruniai Allah “ilmu-plus” mengenai hal tersebut.
Di atas semua itu, ternyata Muhammad Abduh mempunyai pemahan lain tentang pengertian malaikat, dan dalam menyampaikan pendapatnya ia tidak begitu saja mengabaikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Menurut Rasyid Ridha, kelihatannya Muhammad Abduh ingin memperluas pembicaraan mengenai malaikat itu.
Menurut Muhammad Abduh, Alquran menuturkan bahwa malaikat itu bermacam-macam, yang masing-masing mepunyai tugas dan pekerjaan sendiri-sendiri. Bahwa ilham kebaikan dan bisikan kejahatan merupakan hal-hal yang pernah dijelaskan oleh Rasulullah. Keduanya dapat disandarkan pada makhluk yang berdimensi metafisik itu. Ide-ide kebaikan yang disebut dengan ilham dan ide-ide kejahatan yang identik dengan bisikan setan, menurut Muhammad Abduh, masing-masing berpusat pada ruh. Dengan demikian, malaikat dan setan merupakan ruh-ruh yang berhubungan dengan ruh manusia. Dari itu, katanya, tidaklah tepat tidaklah tepat jika malaikat digambarkan secara fisik. Sebab, kalau pun ia mengadakan kontak dengan ruh manusia tentulah jasad kontak itu terjadi melalui jasad/tubuh, sementara manusia sendiri, kata Muhammad Abduh, tidak merasakan sedikit pun adanya kontak itu, baik ketika timbul bisikan maupun ketika timbulnya dorongan dari lubuk hati untuk berbuat kebaikan. Maka dari itu, menurut pendapatnya, malaikat pasti berasal dari alam non-fisik. Bagi setiap Muslim wajib mengimani ayat yang berbicara tentang malaikat atau memandang kemungkinan ayat itu sekedar berbicara tentang tamtsil, kemudian ia mengambil pelajaran darinya.

Surah Al-A’raf 206

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.
Allah memuji para malaikat yang bertasbih siang dan malam tanpa henti. Dia berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ada pada sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah.” Allah menceritakan mereka tiada lain kecuali supaya malaikat yang melakukan ketaatan dan ibadat yang banyak itu diikuti. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan kepada kita agar bersujud (tilawah) tatkala Allah menceritakan sujudnya malaikat kepada-Nya.
Fiman Allah Ta’ala. “Dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud” merupakan ayat sajadah pertama dalam Alquran dan disyari’atkan secara ijma’bagi orang yang membaca dan mendengarnya agar bersujud. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Darda, dari Nabi saw.: “Sesungguhnya beliau menghitung ayat itu sebagai ayat Sajadah di dalam Alquran.”
Ayat di atas melukiskan tiga sifat malaikat, yaitu pertama, tidak sombong atau enggan beribadah, karena keangkuhan mengantar kepada kedurhakaan; kedua, bertasbih menyucikan Allah dari segala kekurangan; dan ketiga, selalu sujud dan patuh kepada Allah. Selanjutnya karena ibadah lahir dari ketiadaan keangkuhan, dan ini terdiri dari dua hal, rohani dan jasmani maka yang berkaitan dengan hati adalah penyucian Allah SWT., dan yang berkaitan dengan jasmani adalah sujud kepada-Nya. Karena itu ayat di atas diakhiri dengan menyebut kedua hal tersebut – menyucikan Allah dan bersujud – selanjutnya, menyucikan Allah dan sujud kepada-Nya dapat mengantar seseorang menuju kedekatan kepada-Nya. Demikian kesimpulan pakar tafsir Abu Hayyan.

Surah Ar-Ra’ad ayat 11

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada lindung dari mereka selain Dia.”
Kata al-mu’aqqibat adalah bentuk jamak dari kata al-mua’qqibah. Kata tersebut terambil dari kata ‘aqiba yaitu tumit, dari sini kata tersebut dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan di sini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/ memliharanya dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalamsetiap gerak langkahnya, baik ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti memliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan penciptaannya.
Firman Allah Ta’ala, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya.” Yakni, seorang hamba memiliki sejumlah malaikat yang datang bergantian. Malaikat itu menjaganya malam dan siang serta memeliharanya dari aneka keburukan dan kejadian. Malaikat lain pun datang bergantian untuk menjaga aneka amal hamba baik yang baik maupun yang buruk. Hal ini seperti dikemukakan dalam sebuah hadits, yang artinya:
“Para malaikat bergiliran untukmu pada malam dan siang hari. Mereka berkumpul dalam salat subuh dan salat ashar. Kemudian malaikat malam naik kepada Allah. Allah bertanya, kepada para malaikat sedang Dia lebih mengetahui tentang kamu, ‘Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku saat kamu tinggalkan?’ Para malaikat berkata, ‘Kami mendatangi mereka sedang mengerjakan salat dan kami meninggalkan mereka sedang salat pula.’”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bahwa, Rasullah saw. bersabda,
“Tiada seorang pun di antara kamu melainkan Allah menyertakan untuk mendampinginya seorang jin dan seorang malaikat.” Para sahabat bertanya, “Juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Juga aku, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkan jin. Maka dia tidak menyuruhku kecuali kepada kebaikan.” (HR Muslim)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” Dalam arti Allah menjadikan para mu’aqqibat itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memlihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaumsehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi menyekutukan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni’mat (nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan dan seterusnya. Ini adalah suatu ketetapan pasti yang kait mengait. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Surah Qaaf ayat 20-26

Artinya: (20) “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.”
Firman Allah, “Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman.” Yaitu, hari kiamat. Diterangkan dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Bagaimana mungkin aku akan bersenang-senang, sedangkan pemegang terompet mengulumnya dan mendekatkan wajahnya, dan menunggu izin untuk ditiupnya?” Mereka mengatakan, “Ya Rasulullah apa yang mesti kita lakukan?” Rasulullah menjawab,
Artinya: “Katakanlah, ‘cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’ Maka para sahabat ketika itu mengatakan , ‘Cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik wakil.’”

Ayat (21): “Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya penggiring dan penyaksi.”
Kata sa’iq pada mulanya digunakan dalam arti sesuatu yang menjadikan sesuatu yang lain berada di hadapannya, menggiring dan mengarahkannya ke depan sambil mengawasi agar sesuatu itu tidak melangkah ke tempat yang tidak diinginkan oleh penghalau itu. Dari sini kata sa’iq dipahami juga dalam arti kusir/ pengemudi. Kata yang seakar dengan kata tersebut dugunakan Alquran untuk yang dihalau ke neraka serta yang diantar ke surga, walau sementara ulama berpendapat bahwa pada dasarnya ia digunakan untuk yang menggiring ke arah yang tidak menyenangkan.
Ibn ‘Asyur cenderung memahami kata nafs/ diri pada ayat di atas dalam arti diri seorang musyrik, bukan yang taat. Pakar tafsir yang satu ini berpendapat demikian dengan alasan konteks uraian ayat yang mengarah ke sana, dan penggunaan kata sa’iq yang menurutnya hanya digunakan bagi yang dihalau menuju tempat yang tidak disenangi.
Ayat di atas tidak menjelaskan siapa penggiring dan saksi itu. Tidak juga menjelaskan ke mana manusia digiring dan apakah saksi yang bersama mereka itu adalah hanya seorang saksi atau ada saksi lain. Penggiring tersebut boleh jadi malaikat yang ditugaskan mencatat amal-amal manusia – dan pendapat inilah yang paling sejalan dengan konteks ayat -- tetapi boleh jadi juga malaikat lain atau makhluk lain. Sedang saksi bisa jadi malaikat lain, atau diri manusia sendiri. Bukankah ketika itu anggota badan manusia akan bersaksi di hadapan Allah swt. Betapapun, yang jelas saksi pada hari kemudian tidak hanya satu saksi, tetapi banyak saksi.

Ayat : (22) “Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami telah singkapkan darimu tabir matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Kata ghitha’/ tabir yang menutup mata itu dipahami oleh sementara ulama dalam arti kecenderungan yang berlebihan terhadap materi, kekuasaan dan aneka ajakan nafsu.
Firman Allah, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Yaitu, aku lalai terhadap hari-Mu ini, yaitu hari kiamat. “Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam,” yakni dengan kuat. Karena, pada hari kiamat setiap orang akan mempunyai pandangan yang kuat, termasuk orang-orang yang kafir ketika di dunianya. Pada hari kiamat nanti, pandangan mereka stabil, akan tetapi semua itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa bagi mereka.

Ayat 23-26
Artinya: “Dan berkata temannya: “Inilah di sisiku telah tersedia.” “Lemparkanlah oleh kamu berdua ke dalam jahannam semua yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi meragukan, yang menjadikan bersama Allah sembahan yang lain, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang keras.”
Kata alqiya bentuk mutsanna/ dual. Ini dipahami dalam arti perintah kepada sa’iq dan syahid mengantar sang kafir menuju ke neraka. Ada juga yang memahami bentuk tersebut sebenarnya hanya tertuju satu person/ malaikat. Itu ditunjukkan kepada qarin. Bentuk dual tidak jarang digunakan bahasa Arab untuk menentukan sesuatu sekaligus bermakna “lakukan hal itu dua kali.” Dengan demikian ayat ini bagaikan berkata: Lemarkanlah! Sekali lagi, lemparkanlah!
Kata kaffar adalah bentuk hiperbola dari kata kafir yakni orang yang sangat banyak dank eras kekufurannya. Kata ‘anid adalah orang yang sangat keras kepala serta selalu menentang kebenaran, walau telah jelas baginya.
Sifat-sifat sang kafir yang beraneka ragam sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas, menggambarkan dampak buruk berurutan dari kekufuran. Yakni siapa yang sering kali melakukan kekufuran, maka ia akan bersifat keras kepala menolak kebenaran yang dihadapinya, dan ini aka menjadikan ia bersifat ‘anid. Selanjutnya sifat keras kepala ini mengantarnya terhalangi dari kegiatan yang positif atau dalam bahasa ayat di atas manna’in lil khair / sangat enggan melakukan kebajikan, karena hanya kebenaran yang mengantar kepada kebajikan. Lalu sifat yang terakhir ini mengantarnya menjadi mu’tad(in)/ melampaui batas dan pengabdian kepada Allah. Ia bersikap aniaya terhadap orang lain yang antara lain tercermin dalam upaya menghalangi manusia menerima kebenaran dengan jalan menanamkan keraguan pada hati mereka atau dalam istilah ayat di atas murib. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
Kata qarin/ teman dipahami oleh sementara ulama sebagai setan yang menyertai manusia sewaktu berada di dunia. Dialah yang berkata: “Inilah orang kafir yang ada di sisiku ini telah tersedia yakni siap untuk dimasukkan ke dalam neraka, karena aku telah menyesatkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa teman itu adalah malaikat yang disinggung ayat yang lalu. Yakni jika yang dimaksud adalah penggiring, maka sang malaikat itu menunjuk pada seorang kafir yang dihalaunya ke neraka. Sedang bila yang berkata itu adalah saksi maka dia menunjuk kepada amal-amal yang disaksikannya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazair, Syaikh Thahir bin Shalih. Al-Jawahir al-Kalamiyyah. Surabaya: Al-Hidayah.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadah. Jakarta: Paramadina, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasisn Alquran. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Tidak ada komentar: