Kamis, 03 Desember 2009

Al-Junaid al-Baghdadi

Al-Junaid al-Baghdâdî


Biografi al-Junaid al-Baghdâdî
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qâsim al-Junayd ibn Muhammad aibn Junayd al-Baghdâdî. Ia kemudian lebih popular dengan panggilan al-Junayd al-Baghdâdî, dan terkadang juga dipanggil al-Junayd saja. Ia merupakan tokoh sufi yang besar pengaruhnya di Baghdad. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia. Meskipun ia lahir di Nihawand, kelauarganya bermukim di kota Baghdad, tempat ia belajar hokum Islam menurut mazhab Imam Syafi’i, dan akhirnya ia menjadi qâdî di Baghdad. Walaupun demikian, kemudian ia menganut mazhab Abu Tsawr.
Sejak kecil Junayd sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Junayd mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?”, Tanya Junayd kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya”, ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah”.
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia akan mau menerimanya”, Junayd berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junayd ke rumah pamannya. Sampainya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?”, terdengar sahutan dari dalam.
“Junayd”, jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini”.
“Aku tidak mau menerimanya”, Sari menyahut.
“demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini”, Junyd berseru.
“Junayd, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?” Sari bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu”, jawab junayd, “Karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela atau tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya”.
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu”.
Sambil berkata demikian Sari membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk junayd disediakannya tempat khusus di dalam lubuk hatinya.
Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqatî (w. 253 H/ 867 M), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar kepada al- Saqatî, ia berguru kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basrî al- Baghdâdî al-Muhâsibî (160 H-243H/ 781-857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu. Al-Junayd al-Baghdâdî, bahkan dipandang sebagai murid terdekat dan paling banyak mendapatkan ilmu dari al- Muhâsibî tersebut.
Sejakk kecil, al-junayd terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, al-Junayd telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“kemukakan pula pendapatmu”, Sari mendorong Junayd. Maka berkatalah junayd,.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”.
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati”, keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junayd itulah yang paling tepat.
Kehidupan al-Junayd al-Baghdâdî, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan salat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Al-Junayd al-Baghdâdî adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah.
Di samping itu, al-Junayd memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husayn ibn Mansur al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulûl. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menururt hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Pada akhir perjalanan hidupnya, ia diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandangan Sa’îd Hawwâ, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa tokoh sufi yang dapat diterima oleh umat Islam, salah satunya al-junayd al-Baghdâdî, di samping tokoh-tokoh lain seperti al-Ghazâlî (w. 505 H/ 1111 M). al-junayd meninggal dunia pada jumat, 298 /910 M dan dimakamkan di dekat makan pamannya sekaligus gurunya, Sari al-Saqatî, di Baghdad.

Junayd Diuji
Selama empat puluh tahun Junayd manekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai salat isya’ ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan salat subuh tanpa perlu berwudhu’ lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu”, Junayd berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku: ‘Junayd telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh: ‘Ya Allah, dosa apakah yang telah dilakukan Junayd?’ Suara itu menjawab: ‘Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar dari pada itu?”
Junayd mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apbila manusia belum patut untuk menemui Tuhannya”, bisik Junayd, “maka segala amal baiknya adalah dosa semata”.
Junayd lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junayd bila kita tak mempunyai bukti”, jawab khalifah.
Kebetulan sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pergilah ke tempat Junayd”, khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junayd: ‘Aku kaya raya tetapi aku sudah jemu dengan urusan-urusan dunia. Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersama dirimu aku bisa mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu”.
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Junayd. Si gadis menemui Junayd dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junayd. Junayd membisu dan tak memberi jawaban, si gadis mengulangi daya upayanya dan Junayd yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!”, serunya sambil meniupkan nafasnya kea rah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohon ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya”, khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia mengunjungi Junayd. “Manusia seperti junayd tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya”, ia berkata.
Setelah bertemu dengan junayd khalifah bertaya:
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?”
“Wahai pangeran kaum Muslim”, Junayd menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angina. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apbila engkau sendiri tidak menginginkannya!”
Stelah peristiw itu nama Junayd jadi harum. Kemasyhuran terdengar ke seluruh penjuru dunia. Betapun besarnya fitnah yang dilontarkan kepada dirnya, reputasinya berlipat ganda seribukali.

Ajaran Tasawuf Junayd al-Baghdâdî
Dalam masa-masa hidupnya, Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci.
Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Junayd merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan. Bagi Junayd, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”.
Al-Junayd memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui Junayd.
Paham dan amalan tasawuf Junayd ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya. Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan Junayd, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”.
Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan Junayd.
Al-Junayd terkenal sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya. Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah kemudian ia pernah mengatakan, “Apabila saya telah mengetahui sesuatu ilmu yang ternyata lebih besar dari pada tasawuf, tentulah saya pergi untuk mencarinya, sekalipun harus dengan cara merangkak.”
Al-Junayd memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut ârif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang ârif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang ârif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.”
Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan al-Junayd yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam mengingat dia.”
Al-Junayd al-Baghdâdî juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah.
Di kalangan para sufi, bast dan qabd merpakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan al-Junayd sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam kedaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.”
Al-Junayd al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total.
Ketika cinta sufi telah menggelora di dalam kalbunya, maka segala bentuk ibadah yang dilakukannya berupa salat, zikir, munajat, dan sebagainya dirasakannya sebagai suatu kenikamatan yang mendalam. Di dalam lubuk hatinya senantiasa ada kerinduan untuk terus bersama Allah, terlintas di dalam hatinya kecemasan, apakah Tuhan yang dicintainya telah membalas cintanya. Dari perasaan cinta yang sangat dalam ini sering terekspresi ungkapan-ungkapan puitis, yang kemudian terkenal dengan sastra sufi.
Selanjutnya al-Junayd dikenal sebagai tokoh sufi yang memiliki pemikiran tentang ma’rifah. Pemikiran ma’rifah yang diajarkan oleh al-Junayd banyak dikutip oleh tokoh-tokoh sufi selanjutnya. Dalam hal ini, Abu Bakr al-Kalâbadzî (w. 380 H/ 990 M) mengungkapkan bahwa al-Junayd berpendapat tentang ma’rifat sebagai berikut: “Ma’rifah itu ada dua macam, yaitu: ma’rifah ta’arruf dan ma’rifah ta’rif. Ma’rifah ta’arruf adalah bahwa Allah memberitahukan kepada orang banyak akn diri-Nya dan meberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai-Nya, seperti perkataan Nabi Ibrahim, ‘Saya tidak menyukai barang sesuatu yang terbenam.’ Adapun arti ma’rifah ta’rif adalah Allah memberi tahu orang banyak bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia, kamudian secara halus terjadilah kejadian benda-benda menunjukkan kepada orang bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Sedang pengetahuan model pertama tentang Allah adalah pengetahuan orang-orang khawas (para sufi). Semua oang tidak bisa ma’rifah terhadap hakikat Allah kecuali karena Allah sendiri”.
Berkenaan dengan ma’rifah ini, al-Junayd juga pernah mengungkapkan pandangannya secara tegas, seperti dikutip Abu Bakr al-Kalâbadzî, “Berkata Junayd, ‘Ma’rifah adalah wujud kebodohanmu ketika adanya pengetahuan. Dikatakan orang, tambahlah keterangan. Ia berkata, Allah itu al-Arif dan juga al-Ma’ruf.’ Artinya bahwa engkau, dari sudut pandanganmu, tidak mengetahu Allah SWT. Anda mengetahui-Nya dari sudut pandang Dia.”
Dalam pandangan al-Junayd, bahwa ma’rifah akan didapat sorang sufi melalui maqâmât dan ahwâl. Dalam persoalan maqâmât dan ahwâl tersebut, al-Junayd sebagaimana dikutip Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, dalam kitab al-Luma’ mengatakan, “Tidak akan sampai seseorang hamba kepada hakikat ma’rifah dan kemurnian tauhid, sehingga ia melalui ahwâl dan maqâmât”.
Selain tentang ma’rifah, al-Junayd juga mempunyai pemikiran tentang tawakal dan tasawuf. Dalam hal ini, suatu kesempatan, ia pernah ditanya tentang makna tawakal. Jawabannya singkat, sebagaimana dikutip oleh Abu Nasr al-Sarrâj al-Tûsî dalam kitab al-Luma’. Menurut al-Junayd, bahwa yang dimaksud dengan tawakal adalah berpegang teguhnya hati kepada Allah SWT.
Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junayd tentang tasawuf adalah sebaggai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan bidu pekerti yang jelek.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah SWT. dan rasul-Nya, Muhammad SAW.
3. memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesame (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa al-Junayd pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4. Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junayd, adalah mengesakan Allah SWT. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5. orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinyu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka al-junayd seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hokum-hukum syari’ah. Dalam persoala ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertsawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada.

Anekdot-anekdot Mengenai Diri Junayd
Pada suatu ketika mata Junayd sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu”, si tabib menasihatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Junayd bersuci, salat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata telah sembuh dan terdengarlah oleh sebuah seruan: “Junayd bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohonkan ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan kami kabulkan”.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Junayd telah sembuh,
“Apakah yang telah kau lakukan?”, ia bertanya.
“Aku bersuci untuk salat”, jawab Junayd.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya”, katanya kepada Junayd, “Matakulah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku”.

Junayd Meninggal Dunia
Beberapa orang muridnya yang besar-besar dan terkenal pula dalam alam tasawuf, sebagai Abu Bakar al-Aththar, Abu Muhammad al-Jurairi, Abu Bakar al-‘Athawi, menceritakan bagaimana indahnya beliau ketika akan meninggal dunia.
Beliau masih tetap mengerjakan salat sunnat di samping yang fardhu, walaupun beliau sudah tidak dapat bangun lagi. Melihat itu, murid-muridnya berkata: ‘Apakah artinya ini wahai Abal Qasim? Tuan guru telah terlalu memberat-berati badan, padahal dalam menghadapi maut”. Lalu beliau menjawab: “Di saat sepert inilah yang amat indah mengerjakan ibadah.”
Sementara masih kuat berdiri, beliau berdiri. Setelah tak kuasa lagi, beliau pun duduk. Tak kuasa lagi duduk, beliau pun berbaring, tetapi tidak pernah berhenti mengerjakan sembahyangnya.
Muhammad al-Jurairi berkata: “Hari wafat beliau itu adalah hari Jum’at. Pagi-pagi saya datang, saya dapati beliau sedang membaca Alquran. Lalu saya berkata: Kasihanilah diri tuan, tuan sudah terlalu payah”. Lalu beliau jawab: “Siapakah yang lebih pantas dari pada aku berbauat begini di saat yang seperti aku hadapi ini. Padalhal shafat hidupku sudah hendak ditutup?” Kata al-‘Athawy: “Tidaklah berhenti beliau dalam sakit itu di antara sembahyang dengan membaca Alquran. Bila telah tammat beliau uulang kembali. Demikianlah seterusnya, sehingga tatkala dia menarik nafas penghabisan, telah dibacanya 70 ayat dari surat Al-Baqarah”.
Beliau meninggal di tahun 297 H. (910 M).


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Al-Attar Fariduddin. Warisan Para Auliya. Penterjemah, Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1983.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008.
HAMKA. Tasawuf, perkembangan dan pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994.

Tidak ada komentar: